Jakarta (ANTARA) - Penyelidik dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Arif Budi Raharjo mengaku tidak mengetahui alasan surat perintah penyelidikan (sprinlidik) tersangka Harun Masiku bisa berada di tangan salah satu kader PDI Perjuangan dan ditampilkan ke publik pada tahun 2010.
Arif menyampaikan bahwa sprinlidik tersebut selalu ia bawa sebelum ditampilkan ke publik oleh kader PDIP.
"Sprinlidik itu saya bawa ke mobil, itu saya tempatkan di depan dan saya selalu duduk di belakang sopir. Jadi kalau misalkan nanti terjadi operasi tangkap tangan (OTT), surat itu bisa langsung saya bawa," ujar Arif saat menjadi saksi dalam sidang pemeriksaan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jumat.
Ia menjelaskan bahwa sejak awal, sprinlidik tersebut disiapkan sendiri olehnya, termasuk pula surat perintah penugasan (springas) beserta semua dokumen lainnya terkait kasus itu.
Seluruh dokumen tersebut, kata dia, disatukan dalam kemasan transparan, yang masih tercantum merek, dan ditempatkan di dalam mobil.
Tetapi saat terdapat pengamanan oleh tim KPK lainnya, yang kini sudah tak lagi menjadi bagian KPK, dia menyebutkan sprinlidik itu tiba-tiba terletak di meja, sehingga dicurigai bahwa sprinlidik tersebut diambil tanpa sepengetahuan pihaknya.
"Kemudian selesai kami melakukan ekspose untuk kasus itu dan naik ke penyidikan, nggak berapa lama ada pemberitaan bahwa salah seorang dari kader PDIP mengibas-ngibaskan sprinlidik itu di dalam sebuah talkshow," ungkapnya.
Pada saat itu, dirinya pun mengenali sprinlidik yang dipegang kader PDI Perjuangan tersebut lantaran masih tertera merek kemasan yang dipakai untuk melindungi sprinlidik yang selama ini ia pegang.
Arif bersaksi dalam sidang kasus dugaan perintangan penyidikan korupsi dan pemberian suap, yang menyeret Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto sebagai terdakwa.
Dalam kasus itu, Hasto didakwa menghalangi atau merintangi penyidikan perkara korupsi, yang menyeret Harun Masiku sebagai tersangka, pada rentang waktu 2019–2024.
Sekjen DPP PDI Perjuangan itu diduga menghalangi penyidikan dengan cara memerintahkan Harun Masiku, melalui penjaga Rumah Aspirasi Nur Hasan, untuk merendam telepon genggam milik Harun ke dalam air setelah kejadian tangkap tangan oleh KPK terhadap anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Periode 2017–2022 Wahyu Setiawan.
Tak hanya ponsel milik Harun Masiku, Hasto juga disebutkan memerintahkan ajudannya bernama Kusnadi untuk menenggelamkan telepon genggam sebagai antisipasi upaya paksa oleh penyidik KPK.
Selain menghalangi penyidikan, Hasto juga didakwa bersama-sama dengan advokat Donny Tri Istiqomah; mantan terpidana kasus Harun Masiku, Saeful Bahri; dan Harun Masiku telah memberikan uang sejumlah 57.350 dolar Singapura atau setara Rp600 juta kepada Wahyu pada rentang waktu 2019–2020.
Uang diduga diberikan dengan tujuan agar Wahyu mengupayakan KPU untuk menyetujui permohonan pergantian antarwaktu (PAW) calon legislatif terpilih asal Dapil Sumsel I atas nama anggota DPR periode 2019–2024 Riezky Aprilia kepada Harun Masiku.
Dengan demikian, Hasto terancam pidana yang diatur dalam Pasal 21 dan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 65 ayat (1) dan Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Pewarta: Agatha Olivia Victoria
Editor: Agus Setiawan
Copyright © ANTARA 2025