Jakarta (ANTARA) - Anggota Unit Kerja Koordinasi (UKK) Infeksi Penyakit Tropik Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Dr. dr, Riyadi, SpA, Subs IPT(K), MKes menjelaskan pentingnya penerapan konsep WASHED yang digagas Badan Kesehatan Dunia (WHO) untuk mengentaskan kecacingan di masyarakat.
WASHED merupakan singkatan dari penyediaan Water, Sanitation, Hygiene Education, dan Deworming yang harus dilakukan agar kondisi masyarakat yang terinfeksi cacing atau parasit bisa dicegah.
"Pemerintah Indonesia juga telah menjalankan konsep WASHED, maka dari itu keluarlah Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) nomor 15 tahun 2017 yang menginduk pada program dari 2001 yang WHO galakkan tersebut," kata dokter Riyadi dalam webinar yang diadakan IDAI, Jumat.
Membedah WASHED, dokter Riyadi menjelaskan untuk unsur Water pada dasarnya otoritas yang terkait harus menyediakan sarana masyarakat berupa akses ke air bersih untuk mendukung pola hidup bersih dan sehat (PHBS) seperti mencuci tangan dan membersihkan bahan makanan.
Baca juga: Pemkot Bogor imbau masyarakat teliti kualitas hati sapi untuk dimakan
Dokter yang berpraktik di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Hasan Sadikin Bandung itu kemudian menjelaskan unsur Sanitation mencakup penyediaan jamban bersih.
Jamban bersih penting untuk memastikan kotoran manusia yang dapat menjadi sarana penyebaran infeksi cacing tidak terbuang secara sembarangan di lokasi-lokasi yang sering digunakan manusia untuk beraktivitas.
Pada unsur Hygiene Education, otoritas terkait harus memastikan agar edukasi masyarakat mengenai higienitas bisa tersampaikan dengan baik terutama agar PHBS bisa terbentuk sejak dini dan akhirnya menekan risiko infeksi cacing yang baru.
Terakhir ada unsur Deworming yang tak kalah penting yaitu pemberian obat cacing pada kelompok rentan untuk menurunkan angka infeksi cacingan.
Berkaca dari data terakhir yang dimiliki Kementerian Kesehatan (Kemenkes) di Indonesia pada 2015 angka prevalensi kecacingan mencapai 28,12 persen yang sebagian besar dialami oleh kelompok usia anak sekolah sebesar 60 persen dan kelompok usia anak prasekolah sebesar 30 persen.
Baca juga: IDAI sebut tanah jadi media utama tularkan kecacingan pada anak
Maka dari itu, peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) nomor 15 tahun 2017 tentang Penanggulangan Kecacingan dirancang dengan berfokus menargetkan kelompok usia 1-12 tahun yang tergolong dalam kelompok rentan kecacingan.
Tujuan aturan itu hadir untuk mengurangi dan menurunkan angka kejadian kecacingan pada anak usia prasekolah dan usia sekolah sebesar 10 persen secara bertahap dan menurunkan prevalensinya sampai di bawah 10 persen di setiap kabupaten/kota di Indonesia.
Salah satu program nasional yang dijalankan berdasarkan aturan itu ialah Pemberian Obat Pencegahan Massal (POPM) Kecacingan yang dilakukan di bulan Februari dan Agustus setiap tahunnya untuk anak usia 1-12 tahun.
Baca juga: IDAI: Waspadai kecacingan penyebab stunting pada anak
Meski begitu setelah dijalankan ternyata pengentasan kecacingan masih menghadapi tantangan, karena pada 2021 Kementerian Kesehatan mengungkapkan bahwa sebanyak 66 kabupaten dan kota yang memiliki prevalensi kecacingan di bawah 5 persen.
Namun ada 26 kabupaten dan kota yang masih memiliki prevalensi cacingan di atas 10 persen bahkan setelah program itu dijalankan selama empat tahun pada periode 2017 hingga 2021.
Dari kondisi tersebut, dokter Riyadi menyarankan kolaborasi antarpemangku kepentingan dalam penanganan kecacingan perlu digalakkan kembali agar konsep WASHED dan program pengentasan kecacingan nasional bisa kembali berjalan optimal.
Apalagi mengingat kecacingan sebagai penyakit yang sering terabaikan atau dikenal dengan istilah Neglected Tropical Disease (NTD), penguatan kolaborasi untuk pengentasan kecacingan perlu dijaga.
Baca juga: Wamensos: Kasus anak infeksi cacing di Sukabumi bukti pentingnya DTSEN
"Jadi yang bisa saya sampaikan adalah bahwa penanganan kecacingan perlu peran aktif lintas sektoral. Kepatuhan partisipasi aktif, program pemerintah, khususnya pencegahan pertumbuhan infeksi, harus menjadi prioritas di masyarakat," katanya.
Hal itu juga tentunya harus dibarengi dengan peningkatan edukasi kepada masyarakat akan PHBS dan juga peningkatan SDM maupun sarana untuk mendeteksi kemungkinan kecacingan sebagai faktor lain yang juga dapat berfungsi signifikan menekan risiko infeksi kecacingan.
Secara global kasus kecacingan merupakan kondisi yang awam ditemukan, menurut data WHO pada 2023 kecacingan dialami oleh sebanyak 1,5 miliar orang.
Dari jumlah tersebut, kasus kecacingan yang paling menginfeksi orang-orang terjadi akibat kelompok cacing yang siklus hidupnya melalui tanah dan cara penularannya melalui tanah yaitu cacing gelang, cacing cambuk, dan cacing isap.
Terbaru kasus kecacingan di Indonesia yang mengegerkan terjadi di Sukabumi saat seorang anak berusia 4 tahun berinisial RY meninggal dunia pada 22 Juli 2025. Selama perawatan, tim medis menemukan cacing hidup hingga seberat satu kilogram dari dalam tubuhnya, bahkan menyebar ke otak.
Baca juga: Kemensos ambil alih penanganan keluarga bayi penuh cacing di Sukabumi
Pewarta: Livia Kristianti
Editor: Siti Zulaikha
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.