Purwokerto (ANTARA) - Pemerhati pendidikan dari Universitas Islam Negeri Prof KH Saifuddin Zuhri (UIN Saizu) Purwokerto, Jawa Tengah, Prof Fauzi menilai penerapan pendekatan humanis dalam dunia pendidikan menjadi cara efektif untuk menangkal penyebaran paham radikal di kalangan pelajar.
“Pendekatan humanis sangat penting untuk mencegah munculnya pikiran keras di kalangan pelajar," katanya di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Kamis.
Ia mengatakan, isu terkait dengan radikalisme dalam beberapa waktu terakhir relatif agak sunyi, namun tiba-tiba muncul kejadian ledakan di salah satu SMA di Jakarta.
Karena itu, kata dia, kasus dugaan tindakan radikal oleh seorang siswa salah satu SMA di Jakarta tersebut menjadi peringatan bahwa benih-benih radikalisme belum sepenuhnya hilang dari lingkungan masyarakat.
Menurut dia, kemunculan pemikiran radikal tersebut tidak bisa dilepaskan dari fakta bahwa tindak kekerasan dan perundungan (bullying) masih marak terjadi di berbagai lini, mulai dari lingkungan rumah tangga, pergaulan remaja, hingga di dalam satuan pendidikan itu sendiri
Baca juga: KPAI rekomendasikan deteksi dini-dukungan sekolah cegah ekstremisme
Motif-motif kekerasan masih ada di lingkungan masyarakat. "Ini menandakan bahwa problem kekerasan masih menjadi isu sekaligus realitas yang harus disikapi serius, baik secara preventif maupun kuratif," katanya.
Terkait hal itu, dia mengatakan dunia pendidikan perlu menanamkan nilai-nilai kemanusiaan yang menumbuhkan empati, toleransi dan saling menghargai. "Pendidikan harus menghadirkan suasana yang ramah anak, berbasis cinta dan menghargai nilai-nilai kemanusiaan," katanya.
Menurut dia, pendekatan humanis dan persuasif harus diutamakan dalam mendidik siswa agar tidak terbentuk karakter keras yang mudah tersulut oleh tekanan.
Ia menilai sistem pendidikan saat ini masih cenderung menonjolkan hukuman (punishment) ketimbang penghargaan (reward). Pola seperti itu, justru membentuk tekanan psikologis yang dapat memicu lahirnya pikiran keras dan perilaku negatif.
“Kalau yang dikedepankan sanksi, anak belajar untuk takut dan menghindar. Tapi kalau mengutamakan 'reward', anak justru akan terdorong berbuat baik karena ingin mencapai hal positif,” katanya.
Baca juga: Komdigi tunggu arahan Presiden soal pembatasan gim daring
Ia mengatakan upaya pencegahan radikalisme juga perlu diperkuat dengan pembentukan daya tahan psikologis (resiliensi) siswa agar tidak mudah tertekan oleh tekanan sosial maupun akademik.
Dalam hal ini, kata dia, anak-anak perlu dibekali ketangguhan mental agar siap menghadapi tekanan hidup "Pendampingan psikologis dan pendekatan humanis harus dilakukan agar mereka tidak melampiaskan tekanan dengan kekerasan,” katanya.
Sebagai solusi, ia mendorong pergeseran paradigma. Pertama, basis pendidikan harus dikuatkan untuk menghadirkan perspektif pendidikan ramah anak, berbasis cinta, serta mengedepankan rasa saling menghargai dan nilai kemanusiaan.
Kedua, kurikulum pendidikan perlu diperkuat untuk membangun resiliensi siswa, yakni kesiapan dan ketangguhan anak untuk menghadapi tekanan (pressure). "Mereka harus dikuatkan agar tidak mudah tertekan," katanya.
Ketiga, lingkungan sekolah harus menjadi "jaring pengaman" yang humanis. Misalnya, memiliki unit krisis (crisis center) atau layanan konsultasi yang inovatif.
Baca juga: Tim Psikologi Polda Metro Jaya dampingi korban ledakan di SMAN 72
Dalam hal ini, peran guru Bimbingan Konseling (BK) harus lebih konstruktif dan peka. "Tata kelola sekolah harus humanis dan persuasif, tidak hanya mengedepankan sanksi tapi reward," katanya.
Dia juga menyoroti dampak masif teknologi informasi yang seringkali menjadi referensi siswa. Terkait dengan hal itu, dia mengingatkan pentingnya literasi digital yang berfokus pada "sadar fungsi" dan "sadar dampak".
"Anak-anak harus diedukasi untuk sadar fungsi, yakni menggunakan teknologi untuk apa. Sekaligus sadar dampak. Dua kesadaran ini yang masih belum dikuatkan di pendidikan kita," katanya.
Ia pun mengapresiasi langkah cepat Kepolisian yang berhasil mengungkap kasus dugaan radikalisme di SMA tersebut. "Itu menunjukkan profesionalisme aparat. Mudah-mudahan terduga pelaku tidak terhubung dengan jaringan radikal profesional, tetapi murni karena tekanan pribadi,” katanya.
Pewarta: Sumarwoto
Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.


















































