Patricia Arstuti, ambassador SIPA 2025 dan jejak GenZ menjaga budaya

1 month ago 14

Jakarta (ANTARA) - Di tengah arus disrupsi teknologi, ruang-ruang seni yang berpijak pada akar budaya namun tetap membuka diri pada kreativitas baru menjadi hal yang semakin diperlukan kehadirannya.

Solo International Performing Arts (SIPA) 2025 hadir sebagai salah satu wadah yang meneguhkan nilai itu. SIPA adalah festival seni pertunjukan bertaraf internasional yang menampilkan penari, pemusik, dan pemain teater dari Indonesia dan mancanegara yang didukung penuh oleh pemerintah melalui Kementerian Pariwisata dan Kementerian Ekonomi Kreatif.

SIPA 2025 diselenggarakan secara hybrid, yaitu daring dan luring, di outdoor stage di Pamedan Pura Mangkunegaran yang termasuk komplek cagar budaya bernilai sejarah tinggi, dan terletak di pusat Kota Surakarta. Tempat ini bisa menampung lebih dari 10.000 pengunjung. Acara berlangsung selama tiga hari yaitu pada 4-6 September 2025.

Tahun ini, festival yang sudah memasuki tahun ke-17 ini memperkenalkan Patricia Arstuti Pramesti Putri sebagai ambassador, sosok muda yang dinilai mampu merepresentasikan semangat kreatif generasi Z sekaligus menghormati tradisi.

Pemilihan Patricia, atau akrab disapa Asti, bukan sekadar soal popularitas di media sosial, tetapi tentang bagaimana ia memaknai kebudayaan dan memproyeksikannya di tengah audiens muda.

Lahir di Jakarta pada 2 September 2001, lulusan Program Internasional Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada ini kini tengah melanjutkan studi Magister Komunikasi Politik di Universitas Indonesia.

Di dunia digital, ia dikenal aktif membagikan konten tentang budaya Indonesia, khususnya kebaya, kepada puluhan ribu pengikutnya di Instagram.

Bagi Patricia, kebaya bukan sekadar busana indah, melainkan simbol identitas dan warisan yang perlu dirawat.

Melalui bahasa visual yang mudah dicerna generasinya, ia mengajak anak muda melihat budaya sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari, bukan sekadar artefak masa lalu.

Direktur SIPA, Dr. R.Ay. Irawati Kusumorasri, M.Sn, menyebut Patricia sebagai representasi generasi Z yang mampu menjembatani nilai-nilai tradisional dengan ekspresi kekinian.

Pernyataan ini bukan tanpa alasan. Dalam ruang seni, keberlanjutan tidak hanya bergantung pada pelestarian bentuk, tetapi juga pada cara menghidupkan nilai di dalamnya.

Patricia menjadi contoh bahwa teknologi dan budaya bisa saling menguatkan, bukan saling meniadakan.

Tapi memanfaatkan platform digital untuk membuka percakapan baru tentang budaya, membangun rasa ingin tahu, dan memantik kebanggaan generasi muda terhadap akar mereka.


Milik semua

Tema SIPA 2025, “Nifty, Artful & Visionary”, selaras dengan profilnya. Tiga kata itu menggambarkan energi generasi yang lincah beradaptasi, memiliki kecakapan artistik, dan berani memandang ke depan.

Patricia adalah cerminan dari semangat itu yang visioner, aktif di ruang digital, namun tetap menghargai jejak masa lalu.

Keikutsertaannya bukan hanya sebagai wajah festival, tetapi juga sebagai bagian dari tim kreatif yang terlibat langsung dalam berbagai program, mulai dari sesi dialog budaya, welcoming dinner, hingga mendampingi delegasi internasional di panggung utama Pamedan Pura Mangkunegaran.

Festival ini akan menampilkan pertunjukan dari seniman dalam negeri dan mancanegara, termasuk Amerika Serikat, Korea Selatan, Taiwan, dan Belanda.

Ragam program seperti SIPA Showcase Stage, SIPA Urban Market, serta pertunjukan seni di ISI Surakarta akan menambah semaraknya suasana.

Seluruh kegiatan terbuka untuk umum dan gratis, memperluas akses bagi masyarakat untuk menikmati seni pertunjukan berkualitas tanpa hambatan ekonomi.

Dalam konteks pembangunan kebudayaan, langkah ini penting karena membuka peluang interaksi lintas kelas sosial dan latar belakang, memungkinkan seni menjadi milik semua orang.

Selain perannya sebagai festival seni, SIPA juga membawa misi diplomasi budaya. Menjadi bagian dari Karisma Event Nusantara yang dipromosikan Kementerian Pariwisata dan Kementerian Ekonomi Kreatif, festival ini tak hanya memperkenalkan seni pertunjukan Indonesia kepada dunia, tetapi juga memperkuat citra Indonesia sebagai negara dengan keragaman budaya yang dinamis.

Bagi Kota Surakarta, keberlanjutan festival ini membawa dampak berlapis yakni mendorong kunjungan wisatawan, menghidupkan ekonomi kreatif lokal, hingga memperluas jejaring internasional bagi para pelaku seni.

Seperti diungkapkan Direktur SIPA Irawati Kusumorasri, perjalanan SIPA selama 17 tahun telah menghasilkan multiplier effect yang signifikan.

Efek ini tidak hanya terasa pada sektor pariwisata dan ekonomi kreatif, tetapi juga pada pembentukan ruang kolaborasi yang inklusif.

SIPA telah menjadi laboratorium sosial di mana seniman, pelaku budaya, pelajar, dan masyarakat umum dapat berinteraksi, berbagi inspirasi, dan membangun jejaring kreatif.

Dalam ruang seperti ini, ide-ide segar bisa lahir, tidak terjebak pada sekat disiplin atau batas geografis.


Konektivitas digital

Kehadiran Patricia sebagai ambassador memberi warna baru pada dinamika ini. Patricia membawa perspektif generasi yang tumbuh di tengah konektivitas digital, di mana batas ruang dan waktu semakin kabur.

Dengan kemampuan mengemas pesan budaya dalam format yang ringan namun bermakna, ia membuka pintu bagi anak muda untuk merasa bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang relevan dan layak dirayakan.

Tantangan pelestarian budaya di era kini memang berbeda. Tidak cukup hanya mempertahankan bentuk aslinya, tetapi juga harus memastikan bahwa nilai-nilai di dalamnya mampu beradaptasi dengan konteks zaman.

Dari kiprahnya, terlihat bahwa pelestarian budaya tidak harus kaku dan formal. Kebaya yang ia kenakan dalam unggahan media sosialnya, misalnya, bukan hanya diposisikan sebagai pakaian untuk acara khusus, tetapi juga bisa menjadi ekspresi gaya sehari-hari.

Ini adalah bentuk reinterpretasi yang memungkinkan budaya tetap hidup, tidak terjebak sebagai simbol yang terasing dari keseharian.

Pendekatan ini mengajarkan bahwa menjaga budaya adalah tentang menciptakan relevansi, bukan sekadar mengulang masa lalu.

SIPA 2025 memberi panggung bagi gagasan ini. Dengan tema dan kurasi yang menggabungkan kekuatan tradisi dan keberanian inovasi, festival ini menunjukkan bahwa seni adalah bahasa universal yang mampu menembus batas generasi, geografi, dan ideologi.

Patricia menjadi salah satu wajah dari narasi ini, membawa pesan bahwa generasi muda bukan hanya penerus, tetapi juga pencipta warisan budaya masa depan.

Dalam konteks yang lebih luas, kisah Patricia dan SIPA 2025 mengingatkan bahwa masa depan kebudayaan tidak hanya bergantung pada institusi atau pemerintah, tetapi pada individu-individu yang mau mengambil peran aktif.

Setiap orang bisa menjadi duta budaya dalam lingkungannya, baik melalui karya, gaya hidup, maupun interaksi sehari-hari.

Media sosial, yang sering dianggap sebagai ancaman bagi kedalaman budaya, justru bisa menjadi alat ampuh untuk memperluas jangkauan nilai-nilai lokal ke kancah global jika digunakan dengan kesadaran dan kreativitas.

Dengan memadukan energi muda dan kebijaksanaan tradisi, SIPA 2025 memberi contoh bahwa pelestarian budaya bukanlah proyek masa lalu, melainkan investasi masa depan.

Generasi seperti Patricia membuktikan bahwa inovasi tidak selalu berarti meninggalkan akar, dan keterbukaan terhadap dunia tidak harus mengikis identitas.

Justru di persilangan antara yang lama dan yang baru, ruang-ruang kreatif seperti SIPA menemukan relevansinya, mengajak semua pihak untuk terlibat dalam perjalanan budaya yang hidup, dinamis, dan menginspirasi.

Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |