Pameran “Staging Desire” pertemukan dua seniman berbeda pendekatan

3 months ago 18

Jakarta (ANTARA) - Komunitas Salihara menghadirkan "Staging Desire", sebuah pameran yang mempertemukan dua seniman dengan pendekatan yang berbeda, yaitu Imam Sucahyo dan Nindityo Adipurnomo.

Sebagaimana keterangan yang diterima, Minggu, pameran yang berlangsung pada 14 Juni hingga 27 Juli 2025 di Galeri Salihara, Jakarta Selatan itu mempertemukan dua seniman dengan praktik material yang menjadi arena negosiasi antara kehendak pribadi dan ekspektasi eksternal.

Gagasan digelarnya pameran ini bermula saat Nindityo pertama kali melihat wayang karton potongan tangan Imam Sucahyo di Tuban, Jawa Timur. Nindityo terkesima oleh bentuk dan ekspresi yang lahir dari benda-benda sederhana seperti kardus bekas.

Pertemuan itu memicu percakapan selama setahun tentang identitas dan bagaimana hasrat membentuk praktik kreatif, yang menjadi landasan pameran.

Imam Sucahyo merupakan seniman otodidak asal Tuban yang mulai aktif berkarya sejak awal 2000-an.

Baca juga: Lukisan karya Sudjana Kerton dipamerkan di Gunung Sahari

Karyanya telah ditampilkan dalam berbagai pameran kelompok di Prancis dan sejumlah daerah di Indonesia seperti Surabaya, Lampung, dan Bali. Adapun Staging Desire menandai pameran tunggal perdananya di Jakarta.

Praktiknya bermula dari pengamatan terhadap manusia, lanskap, dan ritme kehidupan sehari-hari di Tuban hingga ancaman abrasi dan sampah di pelabuhan pada era Majapahit.

Dengan bahan temuan di sekitar Tuban seperti pensil, pulpen, krayon, kayu apung, plastik bekas, dan kerang, Imam menciptakan karya figur-figur visual yang mengaburkan memori kenyataan dan imajinasi.

“Karya saya gabungan dari kehidupan sehari-hari, terus masalah alam… lintasan-lintasan itu jadi kayak kenyataan dan khayalan saya coba gabungkan, mungkin dari masa lalu sampai masa sekarang, saya gabungkan, untuk melihat ke depan," ucapnya.

Baca juga: Pameran jaring ikan bekas di Jakarta suarakan kepedulian kondisi laut

Sementara itu, Nindityo Adipurnomo merupakan salah satu perupa kontemporer Indonesia dengan rekam jejak lebih dari tiga dekade. Dia dikenal atas eksplorasinya terhadap identitas budaya Jawa, dengan fokus pada simbol-simbol tradisional dan posisinya dalam masyarakat modern.

Karyanya telah dipamerkan baik di Indonesia maupun mancanegara, termasuk Singapore Biennale, Asia Pacific Triennial, serta berbagai galeri dan museum di Eropa, Asia, dan Amerika Serikat.

Melalui praktiknya, Nindityo mengajak pengunjung untuk meninjau ulang cara memandang simbol budaya dan mempertanyakan relevansinya dalam lanskap sosial masa kini.

Sebagai Co-Founder Cemeti Institute for Art and Society dan Indonesian Visual Art Archive (IVAA), kontribusi Nindityo tidak hanya melalui karya, tetapi juga lewat pengembangan ekosistem seni yang terbuka terhadap eksperimen dan regenerasi. Bagi Nindityo, kegelisahan adalah hal yang membuat karyanya menjadi aktif dan dinamis.

Baca juga: Pameran seni seabad Walter Spies hadirkan refleksi tantangan Bali

“Secara umum kegelisahan itu tidak selalu negatif seperti yang dipahami orang umum. Bagi saya, gelisah berarti keinginan untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat, untuk diri sendiri dan orang lain. Dalam konteks seni, kegelisahan itu adalah energi yang membuat saya tidak berhenti pada satu definisi," kata dia.

Meskipun material dan bentuk mereka berbeda, di mana karya Nindityo yang terstruktur dan terampil kontras dengan ekspresi mentah Imam, namun karya mereka bersinggungan dalam kepedulian lingkungan, budaya, dan simbolik yang sama.

Metodologi kreatif mereka juga beririsan, di mana Nindityo memandang inspirasi sebagai dialog antara pembongkaran dan penciptaan ulang, sementara Imam memproses impresi mentah dari realitas sehari-hari, manusia, alam, dan ritmenya untuk diolah melalui memori dan penemuan yang intuitif.

Pameran ini dikurasi oleh Zarani Risjad, sedangkan instalasi dan pengalaman pameran diproduksi oleh Baseline Studio bersama tim kreatif dari Skenografia, Klaasen Lighting Design, dan Signify.

Baca juga: 100 lukisan karya 26 seniman ditampilkan di Museum Maritim Indonesia

Staging Desire dirancang menyerupai pertunjukan. Pengunjung diajak memasuki ruang galeri melalui lorong yang dibentuk seperti area panggung belakang. Di pusat ruang pameran, berdiri sebuah rumah kayu bobrok yang ditemukan Imam di Tuban, Jawa Timur.

Atapnya yang miring menyerupai bentuk konstelasi Salib Selatan. Rumah ini bukan sekadar latar, melainkan menjadi tokoh utama, berupa ruang yang menjadi titik temu antara ingatan dan metafora Imam serta wadah bagi proyeksi Nindityo atas fragmen narasi tentang kohesi, identitas, dan kepemilikan.

Dibayangi oleh layar berbentuk bulan yang menggantung di atasnya, rumah ini menjadi ruang pertemuan antara wayang karton Imam dan figur baja dan kulit Nindityo yang masing-masing dengan “suara material” berbeda, namun saling memantulkan retakan sosial, kerinduan bersama, dan daya hidup kolektif.

Baca juga: Pameran "Semesta Arkiv" eksplorasi seni, teknologi, dan kemanusiaan

Pewarta: Fathur Rochman
Editor: Siti Zulaikha
Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
Rakyat news | | | |