Jakarta (ANTARA) - Ketua Dewan Audit Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Sophia Wattimena mengatakan bahwa iklim berusaha di Indonesia masih menghadapi hambatan struktural, sehingga diperlukan kolaborasi semua pemangku kepentingan untuk mewujudkan perbaikan tata kelola, manajemen risiko, dan kepatuhan.
Untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman para pelaku usaha, terutama di sektor jasa keuangan, terkait tata kelola, manajemen risiko, dan kepatuhan (governance, risk management, and compliance), pihaknya pun rutin menggelar Risk and Governance Summit (RGS) sejak 2013.
“Skor keseluruhan Indonesia pada Business Ready Index (B-Ready) 2024 masih berada di bawah rata-rata global, menunjukkan bahwa iklim usaha di Indonesia masih menghadapi berbagai hambatan struktural,” ucap Sophia Wattimena di Jakarta, Selasa.
Laporan yang dirilis oleh Bank Dunia (World Bank) tersebut menilai kemudahan berbisnis di Indonesia menurut tiga pilar indikator, yakni Regulatory Framework (Kerangka Peraturan), Public Services (Layanan Publik), dan Operational Efficiency (Efisiensi Operasional), dalam 10 detail topik yang berkaitan dengan kegiatan usaha.
Baca juga: Kemenkumham: Data "beneficial owner" bermanfaat untuk bisnis dan hukum
Indonesia mendapatkan skor 64 pada Pilar Regulatory Framework, lebih rendah dari rata-rata global sebesar 65,53.
Skor lebih rendah juga didapatkan Indonesia pada Pilar Operational Efficiency, yakni senilai 61, dibandingkan rata-rata global sebesar 63,95.
Sementara pada Pilar Public Services, Indonesia mendapatkan skor 63, lebih tinggi daripada rata-rata global senilai 49,73.
“Indonesia masih menghadapi kesenjangan dalam efisiensi layanan publik, akses ke layanan keuangan, dan regulasi bisnis,” ujar Sophia, yang juga merupakan Anggota Dewan Komisioner OJK.
Selain hambatan terkait kemudahan berbisnis, ia juga menyoroti adanya tantangan tata kelola dalam mengatasi korupsi di Indonesia.
Baca juga: OJK: Rata-rata laporan "scam" yang masuk ke IASC capai 800 per hari
Indonesia menempati peringkat 99 dari 180 negara yang disurvei oleh lembaga internasional Transparency International dengan skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) atau Corruption Perceptions Index (CPI) sebesar 37 dari 100 pada 2024.
“Skor tersebut tidak dapat dilepaskan dari angka Incremental Capital Output Ratio (ICOR/rasio investasi terhadap pertumbuhan ekonomi) Indonesia yang masih berada di angka 6,3, menunjukkan bahwa efisiensi investasi masih perlu dioptimalkan,” katanya.
Padahal, menurut Global Risk Report 2025 yang diterbitkan oleh World Economic Forum (WEF), saat ini Indonesia tengah menghadapi tantangan yang semakin kompleks, dengan lima risiko utama yaitu dampak negatif teknologi kecerdasan buatan, perlambatan ekonomi, kemiskinan dan ketimpangan, cuaca ekstrim, serta krisis pangan.
Sophia pun menegaskan dalam menghadapi permasalahan yang kompleks tersebut, perbaikan tata kelola, manajemen risiko, dan kepatuhan bukan sekedar kewajiban administratif, tapi sesuatu yang memang dibutuhkan.
“Mempertimbangkan risiko global dan kondisi yang kita hadapi saat ini, OJK berkontribusi untuk meningkatkan awareness (kesadaran) atas pentingnya governance (tata kelola) untuk mengawal pembangunan dan secara konsisten OJK menyelenggarakan Risk and Governance Summit (RGS),” imbuhnya.
Pewarta: Uyu Septiyati Liman
Editor: Abdul Hakim Muhiddin
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.