Merawat tradisi di tapal batas dengan kenduri budaya

1 month ago 23

Natuna (ANTARA) - Pada sore yang teduh di pekan kedua Agustus 2025, bunyi gong menggema di Desa Pulau Tiga, salah satu wilayah paling utara Indonesia, sebagai penanda dimulainya sebuah perhelatan sakral yang diberi nama Kenduri Budaya Pulau Tiga.

Gema gong merambat ke segala penjuru desa, lalu perlahan mereda. Saat itulah, para tamu undangan dipersilakan duduk bersila di atas tikar pandan. Mereka membentuk lingkaran, mengelilingi hidangan yang masih tertutup rapi dengan tudung saji dari anyaman daun pandan.

Para tetua adat dan pejabat menempati tempat khusus di sebuah bangunan menyerupai gazebo panjang. Hiasannya sederhana dari daun kelapa yang melambai-lambai di atas, sementara kerupuk khas daerah digantung rapi setiap setengah meter di hiasan daun kelapa, yang menambah semarak sekaligus mengingatkan pada kebersahajaan kampung.

Tak lama kemudian, tudung saji diangkat. Seketika, aroma ikan bakar dan gulai sapi menyeruak, memanjakan penciuman setiap orang yang hadir. Bau bumbu rempah yang kuat membuat perut bergejolak lapar.

Di dalam hidangan tersaji lima piring berbeda, dua piring sayur, satu ikan bakar, satu gulai sapi berkuah kental, dan satu kue tradisional. Di luar tudung saji, nasi putih, air bening, dan air berasa juga tersaji sebagai simbol kesederhanaan

Semua yang terhidang bukan hasil tangan koki ternama atau desainer acara profesional, melainkan dikerjakan dengan penuh cinta oleh masyarakat setempat.

Gotong royong

Pembukaan Kenduri Budaya Pulau Tiga bukan hanya soal makan bersama, melainkan menyimpan sebuah pesan mendalam. Semua proses persiapan dilakukan oleh warga di desa itu, mereka silih berganti, mengambil peran. Para ibu menyiapkan bumbu, para bapak membantu memanggang ikan, sementara pemuda-pemudi ikut menyusun daun kelapa menghias bangunan yang dijadikan lokasi kegiatan hingga membentang tikar untuk para tetamu duduk. Mereka bahu-membahu tanpa pamrih.

Gotong royong juga tampak di panggung utama yang berdiri di lapangan bola desa. Meski rangka panggung dibuat dari besi dan dipasang oleh pekerja ahli, masyarakat tetap terlibat. Mereka menghias panggung dengan bambu dan berbagai tanaman lokal lainnya. Sentuhan tangan masyarakat membuat panggung itu terasa istimewa bukan hanya panggung hiburan, melainkan panggung kebersamaan.

Panggung disiapkan untuk pementasan budaya, yang diisi oleh peserta workshop dari kalangan siswa hingga mahasiswa. Mereka ini sebelumnya telah dilatih oleh para ahli dari tiga warisan budaya asli Natuna, pada 10-12 Agustus 2025 di Museum Natuna.

"Melestarikan budaya merupakan tugas kita bersama. Oleh karena itu, kesadaran kolektif diperlukan, dan pada kegiatan Kenduri Budaya Pulau Tiga ini kami melestarikan tiga warisan budaya," ucap Ardiyansyah perwakilan Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah IV Provinsi Riau dan Provinsi Kepulauan Riau.

Penampilan warisan budaya lesung alu pada kenduri budaya pulau tiga di Desa Pulau Tiga, Kabupaten Natuna pada Rabu (13/8/2025). ANTARA/Muhamad Nurman

Ditempa

Di Museum Natuna para generasi muda dicetak sebagai penjaga budaya, dan pelaku budaya.

Ketiga warisan budaya yang diajarkan merupakan kesenian teater meliputi tari tupeng, lang-lang buana dan mendu. Di dalam kesenian ini terdapat musik, syair hingga lakonan.

Dalam kegiatan workshop peserta dibagi dalam tiga kelompok sesuai dengan warisan yang ingin dipelajari. Para maestro disiapkan khusus untuk mengajarkan sejarah, filosofi, hingga teknik pertunjukan. Siang hari peserta belajar dengan penuh konsentrasi, malam hari mereka menulis catatan agar ilmu tak hilang ditelan waktu.

Puncak kegiatan berlangsung di Desa Pulau Tiga pada 13–15 Agustus di atas panggung yang telah disiapkan secara gotong royong itu. Tiga malam berturut-turut, panggung sederhana di lapangan desa berubah menjadi ruang magis, sebagai tempat peserta menampilkan ilmu yang di dapat. Malam pertama dipersembahkan tari tupeng, malam kedua lang-lang buana, dan malam terakhir ditutup dengan mendu.

Kegiatan ini diselenggarakan oleh Kementerian Kebudayaan (Kemenbud) melalui Unit Pelaksana Tugas mereka yakni Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah IV Provinsi Riau dan Provinsi Kepulauan Riau.

Setiap pementasan mampu membuat penonton terhanyut dan menjadi sarana edukasi tentang makna kehidupan. Tari tupeng, misalnya, meski dikemas dengan beberapa canda dalam lakonan, gerakan indah dan lakonan yang dimainkan memperlihatkan keberanian dan amanah serta pentingnya mentaati pantang larang.

Maestro tari tupeng Dermawan (67), mengatakan tari tupeng tidak hanya sebuah penyembuhan terhadap putri raja yang sakit saja namun sekarang menjadi warisan yang akan terus ada berkat BPK Wilayah IV, karena sudah ada generasi yang meneruskannya.

Sementara lang-lang buana membawa penonton menyusuri legenda tua tentang pengembaraan manusia. Teater mendu, dengan alur cerita yang dikemas dengan serius dan penuh pesan moral, membuat penonton merenung.

Lampu panggung berwarna-warni menambah dramatis suasana. Para pemain tampil dengan busana khas sesuai tradisi. Sesekali terdengar tawa penonton, kadang juga mata berbinar ketika kisah yang dimainkan menyentuh hati.

Setiap malam, jumlah penonton kian bertambah. Kursi yang disediakan tak cukup menampung semua. Banyak warga rela berdiri atau duduk di tanah hingga acara usai. Mereka bertahan bukan karena dipaksa, melainkan karena rindu kebersamaan, sekaligus bangga menyaksikan budaya sendiri dimainkan oleh generasi.

Kenduri Budaya Pulau Tiga adalah bukti nyata perjuangan BPK Wilayah IV. Lembaga ini tidak hanya bekerja di kota besar, tetapi berani menembus pulau-pulau terluar. Mereka datang dengan niat tulus, memastikan tradisi tidak mati di tangan zaman.

Upaya itu tentu tidak mudah. Membawa program ke pulau terluar butuh tenaga, biaya, dan semangat yang besar. Namun, mereka tetap melakukannya. Sebab bagi mereka, budaya adalah identitas bangsa. Jika budaya hilang, maka hilang pula jati diri.

Selain ketiga warisan budaya itu, dipanggung yang menjadi pusat perhatian masyarakat pada malam itu juga menampilkan berbagai warisan budaya lainnya, yang membedakan hanya pemain.

Membekas di hati masyarakat

Bagi masyarakat Pulau Tiga, Kenduri Budaya lebih dari sekadar acara. Ia adalah ruang untuk berkumpul, mengingatkan kembali arti kebersamaan, dan mengikat kembali tali yang hampir putus.

Banyak dari masyarakat terharu melihat anak-anak muda mereka tampil di panggung, memainkan tarian atau drama yang dulu hanya mereka saksikan di masa kecil.

Kenduri Budaya Pulau Tiga menutup rangkaian acaranya dengan penuh sukacita. Lampu panggung padam, penonton pulang membawa cerita, sementara masyarakat kembali dengan rasa bangga. Tapi lebih dari itu, sebuah harapan baru lahir.

Harapan bahwa warisan budaya tidak akan pernah tercerabut dari akarnya. Harapan bahwa gotong royong tidak hanya jadi cerita, tetapi tetap hidup di desa-desa.

Di langit Pulau Tiga yang bertabur bintang, perjuangan itu terasa nyata. Tradisi tidak sekadar dikenang, melainkan dijalani, diwariskan, dan dirawat bersama.

Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |