Meningkatkan PNBP sektor perikanan

4 weeks ago 12
Sektor kelautan dan perikanan Indonesia memiliki potensi luar biasa yang jika dikelola dengan tepat mampu menjadi motor penggerak ekonomi nasional

Surabaya (ANTARA) - Sektor kelautan dan perikanan Indonesia memiliki potensi luar biasa yang jika dikelola dengan tepat mampu menjadi motor penggerak ekonomi nasional, sekaligus penghasil devisa negara.

Salah satu instrumen penting dalam optimalisasi kontribusi sektor ini adalah penerimaan negara bukan pajak (PNBP), yang bersumber dari aktivitas pemanfaatan sumber daya ikan. Dalam konteks tersebut, kebijakan penangkapan ikan terukur (PIT) yang dicanangkan pemerintah merupakan langkah strategis untuk menyeimbangkan kepentingan ekonomi, ekologi, dan sosial masyarakat pesisir.

Kebijakan PIT dirancang untuk memastikan bahwa pemanfaatan sumber daya ikan dilakukan dalam koridor keberlanjutan. Dengan menetapkan kuota penangkapan di setiap wilayah pengelolaan perikanan (WPP), pemerintah tidak hanya mengatur jumlah tangkapan sesuai daya dukung ekosistem, tetapi juga menata mekanisme distribusi manfaat ekonomi melalui skema perizinan dan pungutan hasil perikanan.

Dengan demikian, PNBP yang dihasilkan dapat meningkat signifikan tanpa harus mengorbankan kelestarian sumber daya.

Hanya saja, implementasi kebijakan ini membutuhkan pijakan konseptual yang kuat, yaitu ekonomi hijau. Pendekatan ini menekankan bahwa pembangunan ekonomi kelautan tidak boleh semata-mata mengejar keuntungan jangka pendek, melainkan harus menginternalisasi prinsip keberlanjutan, efisiensi, inovasi, dan inklusivitas.

Ekonomi hijau menjadi paradigma yang memastikan bahwa kebijakan PIT tidak hanya memperkaya kas negara, tetapi juga memperkuat ketahanan ekosistem laut, menyejahterakan nelayan, serta membuka peluang investasi yang ramah lingkungan.

Baca juga: KKP ajak pelaku usaha perikanan manfaatkan digitalisasi pelayanan

Dari perspektif akademik, terdapat beberapa strategi yang dapat memperkuat kontribusi PIT terhadap peningkatan PNBP sektor perikanan.

Pertama, penyusunan kuota penangkapan berbasis riset ilmiah yang mutakhir. Tanpa data stok ikan yang akurat dan periodik, kebijakan kuota akan rentan dipertanyakan validitasnya. Oleh karena itu, riset perikanan tangkap harus diperkuat melalui kolaborasi antara pemerintah, perguruan tinggi, dan lembaga riset.

Kedua, digitalisasi tata kelola perikanan tangkap. Penerapan sistem e-logbook, vessel monitoring system (VMS), serta integrasi data perizinan akan meningkatkan transparansi, meminimalisasi praktik penangkapan ilegal, dan memastikan pungutan negara tercatat optimal. Dengan sistem digital yang terintegrasi, kebocoran PNBP dapat ditekan secara signifikan.

Ketiga, insentif dan disinsentif bagi pelaku usaha. PNBP dapat ditingkatkan, tidak hanya melalui tarif pungutan, tetapi juga dengan menciptakan iklim usaha yang adil, misalnya pelaku usaha yang menerapkan praktik penangkapan ramah lingkungan, menggunakan kapal dengan efisiensi energi tinggi, atau berkontribusi pada program restorasi ekosistem, seharusnya mendapatkan insentif fiskal maupun non-fiskal.

Keempat, memperkuat peran masyarakat lokal dan nelayan tradisional dalam kerangka PIT. Strategi peningkatan PNBP tidak boleh mengenyampingkan keadilan sosial. Oleh karena itu, sebagian dari PNBP yang diperoleh perlu dialokasikan kembali dalam bentuk program pemberdayaan masyarakat, penguatan koperasi nelayan, serta perbaikan infrastruktur pesisir.

Hal itu selaras dengan prinsip ekonomi hijau yang menekankan inklusivitas dan kesejahteraan bersama.

Baca juga: KKP-FAO hasilkan digitalisasi pengendalian penyakit ikan

Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |