Jakarta (ANTARA) - Menteri Kehutanan (Menhut) Raja Juli Antoni mengejar masuknya sektor kehutanan dalam perdagangan karbon Indonesia untuk mendukung upaya rehabilitasi kawasan hutan dan deforestasi di tanah air.
"Voluntary carbon market juga akan segera mungkin kita buka, karena dengan terutama merevisi Pepres 98 yang sedang berjalan itu akan memungkinkan pihak swasta untuk berinvestasi," kata Menteri Kehutanan (Menhut) Raja Juli Antoni ketika ditemui usai Kick Off Meeting Concept Note dan Proposal Pendanaan Baru untuk RBP REDD+ CGF Tahap II di Jakarta, Selasa.
Dengan merevisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 98 Tahun 2021 Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional, diharapkan akan mendukung upaya pemulihan kawasan hutan dan lahan serta pencegahan kebakaran hutan dan degradasi lahan.
Dia menyebut bahwa terdapat sekitar 6,5 juta hektare (ha) lahan terdegradasi yang memerlukan upaya rehabilitasi untuk dapat dikembalikan kondisinya. Dengan perubahan Pepres 98 Tahun 2021, diharapkan dukungan pendanaan dari perdagangan karbon sektor kehutanan dapat mendukung upaya tersebut.
Baca juga: Pemerintah umumkan gakkum-rencana restorasi lahan terbakar akhir tahun
"Dengan kemudian kita membuka voluntary carbon market ini, kita berharap akan ada investasi untuk menanam di daerah-daerah yang tandus itu dan konsekuensinya tentu swasta mendapatkan insentif dari usaha mereka. Tapi saya kira ini juga akan baik untuk pendapatan negara melalui pajak dan lain sebagainya, sebuah mekanisme yang akan kita bicarakan bersama," jelasnya.
Sebelumnya, Menhut Raja Juli Antoni sendiri menargetkan perdagangan karbon sektor kehutanan dapat dimulai Juli tahun ini. Namun, terjadi penundaan karena harus menunggu revisi dari Perpres 98 Tahun 2021 tersebut.
Dalam pernyataan pada Maret lalu, Menhut menjelaskan pada tahap awal, perdagangan karbon akan mencakup skema pengelolaan hutan oleh swasta Pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) dan Perhutanan Sosial, dengan potensi serapan karbon yang berbeda.
PBPH memiliki potensi serapan 20-58 ton CO2 per ha dengan harga 5-10 dolar AS per ton CO2, sementara Perhutanan Sosial dapat menyerap hingga 100 ton CO2 per ha dengan harga mencapai 30 euro per ton CO2.
Pada 2025, potensi perdagangan karbon sektor kehutanan diperkirakan mencapai 26,5 juta ton CO2, dengan nilai transaksi berkisar Rp1,6 triliun-Rp3,2 triliun per tahun.
Baca juga: BNPB: Karhutla di enam provinsi prioritas berhasil dikendalikan
Pewarta: Prisca Triferna Violleta
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.