Membumikan energi panas bumi

2 months ago 12
Revisi PP tentang panas bumi menjadi krusial dalam pengembangan panas bumi, mengingat pengembangan panas bumi telah memberikan dampak berganda yang signifikan terhadap perekonomian, industri, dan masyarakat

Jakarta (ANTARA) - Indonesia merupakan salah satu negara dengan potensi panas bumi terbesar di dunia, mencapai sekitar 40 persen dari total potensi global atau sekitar 23,7 gigawatt (GW).

Namun, pemanfaatannya saat ini baru sekitar 11 persen dari total potensi, dengan kapasitas terpasang pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) mencapai 2,6 GW hingga tahun 2024. Angka ini menempatkan Indonesia sebagai produsen panas bumi terbesar kedua setelah Amerika Serikat.

Pemerintah menargetkan penambahan kapasitas PLTP sebesar 5,2 GW dalam sepuluh tahun ke depan, sebagaimana tertuang dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034.

Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Eniya Listiani Dewi, optimistis bahwa dalam lima tahun ke depan, target penambahan 1,5 GW dari panas bumi dapat tercapai, membawa total kapasitas terpasang menjadi 2,7 GW.

Kementerian ESDM sedang menyiapkan revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Panas Bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung, yang mengatur tata cara pengusahaan panas bumi mulai dari wilayah kerja, perizinan, hingga pelaksanaan proyek. Pemanfaatan tidak langsung dalam konteks ini secara spesifik berarti penggunaan panas bumi untuk pembangkit listrik.

Revisi ini bertujuan untuk mengatasi berbagai tantangan dan mengoptimalkan pengembangan energi panas bumi di Indonesia, agar bisa lebih berdampak terhadap perekonomian, industri, dan masyarakat.

Revisi PP Nomor 7 Tahun 2017 ini juga menjadi momentum penting untuk menciptakan terobosan regulasi sekaligus "membumikan" energi panas bumi, bukan hanya dari sisi teknis dan ekonomi, tetapi juga sosial.

Kementerian ESDM mencatat ada beberapa isu krusial yang dibahas dalam revisi PP Nomor 7 Tahun 2017.

Pertama, skema lelang online. Kementerian ESDM berencana menerapkan lelang wilayah kerja panas bumi (WKP) secara daring. Sistem ini memungkinkan investor melihat data dan mengunggah dokumen lelang secara digital, menjadikan proses lebih transparan dan efisien.

Kedua, insentif fiskal dan non-fiskal. Revisi ini akan mendalami pemberian insentif untuk mendorong investasi panas bumi. Pemerintah menargetkan peningkatan internal rate of return (IRR) investasi panas bumi yang saat ini di bawah 10 persen menjadi lebih dari 10 persen untuk menarik lebih banyak investor.

Ketiga, kewajiban pembelian listrik oleh PLN. Penyesuaian akan dilakukan terkait kewajiban PT PLN (Persero) untuk membeli listrik dari hasil lelang dan penugasan BUMN, terutama setelah terbitnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang BUMN. Hal ini diharapkan dapat memberikan kepastian bagi pengembang panas bumi yang kerap menghadapi tantangan monopsoni atau pembeli tunggal yakni PLN dalam jual-beli listrik.

Revisi juga akan mencakup prioritas dispatch listrik dari PLTP, penggantian jangka waktu eksplorasi dengan kriteria terukur, nilai ekonomi karbon, pengelolaan mineral ikutan panas bumi, penanganan isu sosial, pemberian dan perpanjangan izin panas bumi (IPB), serta jaminan pemulihan lingkungan.

Revisi ini diharapkan menjadi solusi atas berbagai tantangan yang dihadapi industri panas bumi di Indonesia, mulai dari sulitnya kesepakatan harga jual-beli dengan PLN hingga masalah izin lahan di hutan konservasi.

Baca juga: ESDM target tambahan 1,5 GW dari panas bumi dalam lima tahun

Editor: Dadan Ramdani
Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |