Listrik desa, belajar dari proyek mangkrak hingga transformasi subsidi

1 month ago 17
Setiap desa memiliki tantangan berbeda, karena itu pendekatan 'one size fits all' berpotensi mengulang kegagalan proyek infrastruktur mangkrak di berbagai desa  Indonesia

Jakarta (ANTARA) - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menargetkan subsidi listrik sebesar Rp104,97 triliun pada 2026 untuk memperluas akses energi terbarukan.

Rencana ini patut dicatat sebagai langkah strategis karena salah satu prioritasnya adalah melistriki 5.600 desa yang sama sekali tidak teraliri listrik, terutama di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).

Pembangunan akan difokuskan pada Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) berbasis lokal, tanpa perlu menarik jaringan dari kabupaten atau kota. Namun, terdapat beberapa catatan penting yang harus diperbaiki agar program ini berjalan secara lancar.

Pertama, ketidaksinkronan data antara pemerintah dan PT PLN (Persero). PLN menyebut, ada lebih dari 10 ribu desa belum teraliri listrik, sementara versi ESDM adalah 5.600 desa.

Bahlil bahkan meluapkan kemarahannya terhadap perbedaan data ini saat rapat di DPR pada 2 Juli 2025. Kemarahan yang sebetulnya membuka satu kondisi faktual penting terkait risiko kegagalan transisi energi Indonesia, karena lemahnya basis data dan koordinasi lintas lembaga negara yang kredibel.

Lebih dari sekadar diskrepansi angka, pertemuan itu juga menunjukkan bahwa proyek elektrifikasi nasional, khususnya di daerah 3T, berpotensi berjalan dengan perencanaan berbasis data lapangan yang lemah.

Ketika lembaga negara saja tidak sinkron soal data desa tanpa listrik, bagaimana bangsa ini bisa yakin bahwa anggaran triliunan rupiah benar-benar akan sampai dan tepat guna?

Baca juga: Prabowo targetkan dalam empat tahun semua desa dialiri listrik

Kedua, PLTS terpusat bukan satu-satunya opsi energi terbarukan yang tersedia. Di sejumlah wilayah, beberapa potensi dan jenis energi terbarukan seperti mikrohidro, tenaga angin, PLTS atap, justru lebih sesuai dengan kondisi geografis dan sosial-ekonomi masyarakat setempat.

Desain kebijakan yang adaptif dan berbasis potensi lokal jauh lebih efektif dibanding pendekatan seragam yang diterapkan dari pusat.

Maka jika bangsa ini hanya mengandalkan satu model teknologi dan jenis energi tanpa mempertimbangkan kondisi lapangan, maka proyek elektrifikasi rawan gagal sebelum berkembang.

Proyek mangkrak

PLTS selama ini dijadikan solusi populer dalam diskursus transisi energi. Di atas kertas, teknologi ini memang ideal karena tidak menimbulkan emisi, tidak bergantung pada bahan bakar fosil, dan bisa dibangun secara terdesentralisasi di daerah terpencil. Tidak heran jika pemerintah menjadikannya sebagai ujung tombak elektrifikasi desa.

Namun, laporan mendalam yang dilakukan oleh CERAH pada akhir 2023 mengungkapkan bahwa Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) terpusat berkapasitas 75 kWP di Desa Way Haru, Kabupaten Pesisir Barat, Lampung, tidak berfungsi kurang dari setahun setelah dibangun.

Baca juga: Sejak kemerdekaan RI kampung Sentalang belum teraliri listrik

Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |