KY soroti kondisi kesehatan mental hakim, perlu dukungan psikologis

2 hours ago 2

Jakarta (ANTARA) - Komisi Yudisial (KY) dalam Survei Kesejahteraan Hakim di Indonesia menyoroti kondisi kesehatan mental hakim tingkat pertama dan tingkat banding di seluruh lingkungan peradilan dan mendorong adanya dukungan psikologis yang berkelanjutan.

Anggota KY sekaligus Ketua Bidang Pencegahan dan Peningkatan Kapasitas Hakim Sukma Violetta mengatakan sebanyak 43,53 persen hakim pernah mengalami stres atau kelelahan emosional berulang dan 15,63 persen di antaranya mengaku cukup sering mengalami itu.

“Ini menunjukkan bahwa mayoritas hakim pernah menghadapi tekanan emosional yang berulang dan ini dapat berdampak pada kesehatan mental dan kinerja, untuk itu, memang diperlukan dukungan psikologis bagi para hakim,” kata Sukma di Jakarta, Selasa.

Survei KY mendapati adanya paradoks bahwa sebagian besar hakim responden mengaku beban kerja telah proporsional (59,77 persen), tetapi di saat yang bersamaan mayoritas hakim juga pernah mengalami stres berulang di masa lalu.

Kondisi tersebut, tutur Sukma, mengisyaratkan faktor penyebab stres tidak hanya terkait jumlah perkara yang ditangani hakim, tetapi juga aspek lain meliputi kompleksitas perkara, tekanan waktu, ekspektasi publik, atau intervensi eksternal maupun internal.

Dalam survei dimaksud, KY menemukan bahwa faktor dominan penyebab stres para hakim adalah beban kerja yang tinggi. Kondisi ini disebut menunjukkan persepsi proporsionalitas belum berlaku merata di setiap satuan kerja.

Selain itu, kekhawatiran terkait lokasi penugasan juga menjadi salah satu faktor stres di kalangan hakim. Mereka mengaku khawatir lantaran waktu mutasi tidak pasti, lokasi penugasan yang jauh dari keluarga, atau fasilitas yang kurang memadai di tempat baru.

Kurangnya bantuan staf pendukung juga menjadi faktor yang menyebabkan hakim stres dan lelah secara emosional. Kekurangan dukungan administratif atau teknis berdampak pada efektivitas penyelesaian tugas serta memperbesar beban kerja yang sudah tinggi.

Faktor-faktor lainnya, yaitu tekanan pihak eksternal (29,67 persen), beban ganda karena tanggung jawab domestik khususnya bagi hakim perempuan (27,27 persen), isolasi sosial karena harus menjaga citra independensi (19,38 persen), tekanan moral dan dilema etik (15,07 persen), serta terpapar perkara traumatis (10,77 persen).

“Stres pada hakim tidak hanya bersumber dari beban kerja secara kuantitatifnya, tetapi juga dari ketidakpastian karier, juga dari kurangnya dukungan struktural, juga adanya tekanan eksternal, dan adanya dilema psikologis,” ucap Sukma.

Menyikapi data tersebut, KY dalam dua tahun terakhir telah memfasilitasi pelatihan sebagai bagian dari dukungan psikologis dan konseling bagi hakim. Dalam pelatihan itu, KY bekerja sama dengan Asosiasi Psikologi Forensik yang tersebar di berbagai daerah.

“Pelatihan itu memberikan gambaran bahwa setiap hakim perlu menyampaikan apa yang membuat mereka stres dalam penanganan perkara, dan kemudian apa hal-hal yang bisa mereka lakukan untuk mengatasi hal tersebut,” jelas Sukma.

Survei tersebut dilakukan KY dengan metode campuran, kuantitatif dan kualitatif, terhadap 567 responden yang merupakan hakim tingkat pertama dan tingkat banding di seluruh lingkungan peradilan.

Survei dirancang untuk mencapai batas galat lebih kurang 5 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen, dengan responden yang merepresentasikan seluruh tingkatan peradilan dan wilayah di Indonesia.

Hasil survei disampaikan Sukma Violetta dalam webinar internasional bertajuk Status dan Kesejahteraan Hakim: Perbandingan Indonesia, Italia, dan Negara-Negara Lain pada Selasa ini.

Baca juga: KY tegaskan seleksi calon hakim agung-ad hoc dilakukan sesuai standar

Baca juga: DPR singgung ada calon Hakim Agung diduga plagiat kembali lolos

Pewarta: Fath Putra Mulya
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |