Jakarta (ANTARA) - Direktur Konsorsium Pendukung Sistem Hutan Kerakyatan (KPSHK) Moh. Djauhari mengatakan perhutanan sosial perlu diposisikan sebagai bentuk restorasi berkelanjutan yang membuka peluang insentif berbasis jasa lingkungan, termasuk karbon dan hasil lainnya, dari kawasan perizinan.
Dengan begitu, diharapkan manfaat dari perhutanan sosial bisa dirasakan langsung oleh masyarakat.
"Pendekatan ini lebih adil dan efektif untuk menjaga hutan sekaligus menjamin kesejahteraan sosial. Untuk mewujudkannya diperlukan tindak lanjut regulatif yang konkret terhadap amanat Perpres (Peraturan Presiden) Nomor 110 Tahun 2025, khususnya Pasal 55 ayat 3 dan Pasal 56 ayat 2," ujarnya dalam policy brief bertajuk "Mendorong Perhutanan Sosial Sebagai Surplus Reduksi Emisi" di Jakarta, Selasa.
Berdasarkan Perpres 110/2025 Pasal 55, pemerintah menetapkan bahwa instrumen nilai ekonomi karbon (NEK) dilakukan untuk mendukung pencapaian target nationally determined contribution (NDC), yang terdiri atas perdagangan karbon, pembayaran berbasis kinerja, pungutan atas karbon, dan instrumen lain yang berkembang sesuai ilmu pengetahuan dan teknologi.
Selanjutnya, ayat (3) menegaskan pelaksanaan instrumen NEK dilakukan pada berbagai sektor dan subsektor, termasuk kehutanan dan penggunaan lahan (FOLU/forestry and other land).
Kemudian, Pasal 56 ayat (2) mengamanatkan menteri wajib menyusun seluruh emisi yang dihasilkan melalui mekanisme offset emisi GRK sebagai bagian dari pencapaian target NDC, sepanjang belum diterbitkan corresponding adjustment (mekanisme yang mencegah terjadinya penghitungan ganda atas pengurangan emisi) sesuai ketentuan United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).
Ketentuan ini mengharuskan peraturan turunan yang secara spesifik mengatur tata cara pelaksanaan instrumen NEK di sektor kehutanan terhadap pengakuan, pendaftaran, verifikasi, serta mekanisme pembagian manfaat (benefit-sharing) yang adil, termasuk bagi masyarakat pengelola hutan.
Jika tidak ada peraturan operasional yang jelas, lanjutnya, kelompok perhutanan sosial berisiko hanya menjadi pelaksana lapangan tanpa memperoleh nilai ekonomi dari jasa karbon yang dihasilkan.
"Oleh karena itu, kementerian terkait perlu segera menyusun peraturan pelaksana Perpres 110 Tahun 2025 untuk memastikan implementasi NEK benar-benar berpihak pada masyarakat, memperkuat posisi perhutanan sosial dalam ekonomi karbon nasional, dan menjaga keberlanjutan hutan sebagai sumber kehidupan," kata Djauhari.
Per 2024, angka capaian luasan perhutanan sosial sebesar 8.102.590 hektare (ha) dengan jumlah izin/persetujuan sebanyak 10.957 surat keputusan dan adanya 14.825 unit kelompok usaha perhutanan sosial (KUPS).
Berdasarkan capaian tersebut, terdapat 1.380.170 kepala keluarga (KK) yang mendapatkan manfaat dari adanya izin/persetujuan perhutanan sosial dan dengan nilai ekonomi sebesar Rp3,44 triliun.
Pemerintah Indonesia memperkirakan perdagangan karbon dari sektor kehutanan, termasuk perhutanan sosial, dapat menghasilkan nilai transaksi sebesar Rp1,6 triliun-Rp3,2 triliun pada 2025, dengan potensi perdagangan karbon mencapai 26,5 juta ton CO2.
Apabila dioptimalkan hingga 2034, potensi perdagangan karbon dari sektor kehutanan diperkirakan mencapai Rp97,9 triliun hingga Rp258,7 triliun per tahun.
Merujuk proyeksi di atas, estimasi return on investment (ROI) menurut data Customer Satisfying Index (CSI) Market sebesar 15-30 persen per tahun dalam investasi perhutanan sosial yang terhubung dengan pasar karbon, didasarkan pada proyeksi potensi pendapatan dari penjualan kredit karbon.
Angka ini, menurut Djauhari, lebih tinggi dari ROI untuk bisnis saham yaitu 10 persen atau lebih.
Sebagai perbandingan, ROI tertinggi di bidang teknologi di angka 16 persen dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) antara 15-16 persen.
"Mengacu pada angka tersebut, bisnis karbon berpotensi menarik para investor swasta. Hanya saja, ada sisi positif dan negatifnya," ucap dia.
Pada sisi positif, peluang bagi pemegang izin perhutanan sosial untuk mendapatkan investasi cukup tinggi.
Sisi lainnya yang harus diwaspadai adalah lemahnya posisi tawar dari para pemegang izin perhutanan sosial terkait kapasitas, sehingga dikhawatirkan akan kontra produktif dengan tujuan dari perhutanan sosial (menyejahterakan masyarakat di sekitar hutan).
Terkait kapasitas, beberapa non-governmental organization (NGO) disebut telah memberikan pendampingan fasilitas pendukung untuk meningkatkan kapasitas tata kelola kelembagaan kelompok perhutanan sosial (KPS), tata kelola kawasan perhutanan sosial, hingga tata kelola usaha masyarakat di sekitar hutan bersama KUPS.
Kegiatan lain juga sudah dilakukan dalam kegiatan restorasi dan konservasi, serta peningkatan kesejahteraan rumah tangga para pengelola perhutanan sosial dan masyarakat di zona perhutanan sosial.
Dari sisi regulasi, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 7 Tahun 2023 telah mengatur tentang Tata Cara Perdagangan Karbon Sektor Kehutanan.
"Seiring dengan komitmen Indonesia dalam pengendalian perubahan iklim dan penurunan emisi gas rumah kaca (GRK), sektor kehutanan diharapkan berkontribusi melalui perdagangan karbon," ungkap Direktur KPSHK.
Pihaknya memberikan sejumlah rekomendasi tentang urgensi regulasi sederhana dan jelas mengenai skema perdagangan karbon dan jasa lingkungan yang transparan di perhutanan sosial.
Pertama, perhutanan sosial tak dimasukkan dalam pemenuhan target NDC, melainkan dihitung sebagai surplus.
KPSHK menganggap perhutanan sosial harus fokus pada tujuan keadilan sosial, ekonomi berkelanjutan, dan pelestarian lingkungan.
Berikutnya, yaitu melibatkan pemegang izin perhutanan sosial sebagai pelaku dalam perdagangan karbon, memperjelas peran pemangku kepentingan yang lain (pemerintah, funding dan investor, carbon developer, dan buyer) dalam skema perdagangan karbon di perhutanan sosial, membangun pasar khusus perdagangan karbon untuk perhutanan sosial, serta adanya jaminan kepastian keamanan investasi karbon.
Baca juga: RI pastikan dukung kolaborasi pendanaan inklusif bagi masyarakat adat
Baca juga: Menhut dorong pasar karbon beri manfaat lewat skema perhutanan sosial
Baca juga: Menhut: Perhutanan sosial beri kontribusi pembangunan ekonomi inklusif
Pewarta: M Baqir Idrus Alatas
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.


















































