Jakarta (ANTARA) - Setiap tanggal 9 Agustus, dunia memperingati Hari Masyarakat Adat Internasional, sebuah momentum penting untuk mengakui peran, hak, dan kontribusi masyarakat adat terhadap kelestarian alam, keberagaman budaya, dan keberlanjutan kehidupan manusia.
Bagi Indonesia, yang memiliki ratusan kelompok masyarakat adat, dengan keragaman tradisi dan wilayah adat yang kaya sumber daya alam, peringatan ini menjadi pengingat akan pentingnya keadilan dan pemerataan manfaat pembangunan.
Salah satu instrumen kunci untuk mewujudkan keadilan dan pemerataan manfaat pembangunan bagi masyarakat adat tersebut adalah pajak. Pajak bukan sekadar sumber penerimaan negara, melainkan juga sebagai alat pemerataan kesejahteraan.
Karena itu, manfaat pajak perlu terus diupayakan agar sepenuhnya dirasakan oleh komunitas masyarakat adat, baik karena keterbatasan akses maupun kebijakan yang kurang sensitif terhadap kebutuhan mereka.
Konsep inklusi pajak hadir untuk memastikan bahwa kebijakan perpajakan dan alokasi penerimaan negara benar-benar mencakup kepentingan masyarakat adat, sehingga mereka dapat menikmati hasil pembangunan secara proporsional dan berkelanjutan.
Sehingga momentum Hari Masyarakat Adat Internasional menjadi bagian dari lanskap pengembangan masyarakat adat di Indonesia melalui distribusi hasil perpajakan yang adil dan merata.
Indonesia memiliki sekitar 2.000-an komunitas masyarakat adat, menurut data Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), dengan estimasi jumlah anggota mencapai 50–70 juta orang. Mereka tersebar di wilayah hutan, pesisir, pegunungan, dan pedalaman yang kaya sumber daya alam.
Sebagian besar komunitas ini masih berada dalam kategori rentan secara ekonomi. Keterbatasan infrastruktur, akses layanan kesehatan, pendidikan, dan kesempatan ekonomi membuat ketimpangan semakin lebar. Pembangunan berbasis pajak sering kali berpusat di wilayah perkotaan atau pusat ekonomi, sementara masyarakat adat hanya menjadi penerima tidak langsung, bahkan kadang tidak sama sekali.
Dimensi pajak
Inklusi pajak memiliki dua dimensi penting untuk masyarakat adat. Pertama, dimensi partisipasi ekonomi. Masyarakat adat, umumnya bergerak di sektor informal, mengandalkan hasil hutan bukan kayu, kerajinan tangan, perikanan tradisional, atau pertanian subsisten.
Dengan mekanisme pajak yang inklusif, kegiatan ekonomi mereka bisa difasilitasi untuk masuk pasar formal, tanpa membebani, misalnya melalui insentif pajak UMKM atau pembebasan PPh final di bawah omzet tertentu.
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.