Jakarta (ANTARA) - Fenomena badai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan meningkatnya jumlah pengangguran di Indonesia mendorong maraknya penggunaan pinjaman daring atau pinjol di kalangan masyarakat. Kondisi ekonomi yang tidak menentu membuat banyak orang mencari solusi cepat untuk memenuhi kebutuhan finansial, meskipun harus menanggung risiko tinggi.
Namun, dalam perspektif syariat Islam, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menyatakan bahwa pinjol baik online maupun offline yang mengandung unsur bunga atau riba hukumnya haram. Praktik riba dianggap bertentangan dengan prinsip keadilan dan dapat menimbulkan ketidakberkahan dalam kehidupan finansial umat Muslim.
Lantas, apa hukumnya pinjol dalam Islam? Apakah diperbolehkan? Simak ulasannya berikut ini.
Baca juga: 7 risiko berbahaya gagal bayar pinjol ilegal yang perlu Anda waspadai
Penjelasan pinjol menurut Islam dalam fatwa MUI
Dalam Ijtima’ Ulama VII MUI (9-11 November 2021), para ulama menegaskan bahwa dasar hukum pinjam meminjam dalam Islam adalah akad tabarru’ (kebajikan), yaitu tolong‑menolong tanpa tujuan mengambil keuntungan berlebih seperti bunga.
Menurut fatwa MUI, semua bentuk pinjaman online maupun konvensional yang mengandung riba hukumnya haram, meskipun dijalankan atas dasar kesepakatan kedua pihak. Riba masuk kategori dosa besar karena mengambil tambahan yang memberatkan peminjam.
Tidak hanya itu, penagihan dengan cara mengancam secara fisik atau membuka aib peminjam juga dilarang keras. Majelis Ulama Indonesia (MUI) menekankan bahwa perilaku semacam itu hukumnya haram karena bertentangan dengan prinsip etika dan kemanusiaan dalam Islam.
MUI juga menegaskan bahwa penundaan pembayaran utang bagi mereka yang benar-benar kesulitan justru dianjurkan (mustahab). Sebaliknya, orang yang sengaja menunda pembayaran utang padahal mampu melunasinya dianggap melakukan kezaliman, dan perbuatan tersebut dinyatakan haram dalam pandangan syariat.
Baca juga: OJK sebut aturan bunga harian bantu bedakan pinjol resmi dan ilegal
Pinjol syariah alternatif yang halal menurut MUI
MUI menyoroti bahwa pinjol bukanlah masalah selama dilakukan dengan prinsip syariah, sebagaimana tertuang dalam fatwa DSN-MUI No. 117/2018. Akad-akad yang sah seperti muzara’ah, mudharabah, murabahah, atau ijarah diperbolehkan selama terbebas dari unsur riba, gharar (ketidakjelasan), maysir (spekulasi), dan zhulm (ketidakadilan).
Pinjol berbasis syariah bahkan dapat bernilai positif dan bermanfaat jika dilaksanakan sesuai ketentuan agama. MUI menegaskan pentingnya penggunaan akad yang sesuai seperti mudharabah atau musyarakah serta menghindari pinjaman untuk kebutuhan konsumtif yang berisiko menjerumuskan ke dalam utang berkepanjangan.
MUI memberikan tiga rekomendasi strategis supaya masyarakat terlindungi, yakni:
• Pengawasan tegas oleh pemerintah (Kemenkominfo, OJK, POLRI) terhadap pinjol ilegal dan penyalahgunaan pinjaman.
• Penyelenggara pinjol agar patuh pada fatwa MUI dan mengadopsi prinsip syariah.
• Masyarakat Muslim hendaknya memilih layanan pembiayaan yang halal dan sesuai syariah, seperti qard hassan, zakat, infak, atau via lembaga keuangan syariah.
Pinjol syariah dinilai halal dan bermanfaat jika sesuai ketentuan DSN-MUI, seperti bebas riba, transparan, dan menggunakan akad sah. Masyarakat diimbau meningkatkan literasi keuangan dan memilih pembiayaan yang sesuai prinsip syariah.
Hukum pinjaman tergantung pada akad dan praktiknya. Jika adil, wajar, dan tidak merugikan, maka diperbolehkan. Namun jika mengandung riba, penagihan kasar, atau merugikan, maka hukumnya haram.
Baca juga: OJK terima 4.344 pengaduan soal pinjaman online ilegal per 23 Mei 2025
Pewarta: M. Hilal Eka Saputra Harahap
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.