Hari Alzheimer dan teknologi taklukkan lupa

2 weeks ago 4

Jakarta (ANTARA) - Setiap 21 September, dunia menundukkan kepala sejenak untuk mengenang Hari Alzheimer Sedunia. Ini bukan sekadar ritual tahunan, melainkan panggilan untuk menghadapi salah satu tantangan kesehatan global terbesar abad ini.

Badan Kesehatan Dunia (WHO) mencatat lebih dari 57 juta orang hidup dengan demensia pada 2021, mayoritas di negara berpendapatan rendah–menengah. Hampir 10 juta kasus baru muncul setiap tahun, dengan Alzheimer menyumbang 60–70 persen dari seluruh kasus. Angka itu diproyeksikan melonjak hingga 139–153 juta orang pada 2050.

Dari balik statistik, ada berjuta wajah nyata mengenai alzheimer. Seorang ibu yang lupa nama anaknya. Seorang ayah yang tidak lagi mengenali jalan pulang. Seorang mahasiswa yang menatap papan tulis dengan tatapan hampa, saat jam pelajaran berlangsung.


Persimpangan memori

Di tanah air, Kementerian Kesehatan RI memperkirakan ada 1,2 juta orang dengan demensia atau alzheimer pada 2016, angka yang bisa naik menjadi 2 juta pada 2030 dan 4 juta pada 2050. Studi STRiDE (Strengthening Responses to Dementia in Developing Countries; Penguatan Respons terhadap Demensia di Negara Berkembang) menegaskan pentingnya pemetaan dan registri nasional yang konsisten, agar kebijakan dan pembiayaan kesehatan bisa tepat sasaran.

Hanya saja, stigma pada penderita alzheimer masih menjadi tembok besar. Survei global ADI 2024 menyoroti bagaimana kesalahpahaman publik menunda deteksi dini, membuat pasien kehilangan waktu berharga untuk diintervensi.

Alzheimer sering dipahami sebagai tumpukan plak beta-amyloid dan kusutnya protein tau yang merusak sambungan dalam sistem saraf. Sebenarnya ini adalah drama tiga babak, yakni akumulasi protein toksik, neuroinflamasi kronis, dan kerentanan genetik.

Varian APOE4, misalnya, meningkatkan risiko dengan mengganggu pembersihan amyloid. Faktor lingkungan, dari hipertensi, diabetes, obesitas, hingga polusi udara dan isolasi sosial, ikut menjadi bahan bakar yang mempercepat api kelupaan.

Bahkan, kini ada bukti bahwa infeksi virus dan bakteri tertentu dapat memicu respons imun yang mempercepat kerusakan otak.

Otak dilindungi blood-brain barrier (BBB, sawar darah-otak), benteng biologis yang membuat 98 persen obat gagal menembus ke sistem saraf pusat. Nanoteknologi hadir sebagai "kuda troya" yang lihai. Partikel berukuran 1–100 nm dapat membawa molekul terapi menyeberangi BBB melalui jalur transsitosis, lalu melepaskan obat hanya di area otak yang sakit.

Studi 2023 menunjukkan nanopartikel lipid dan polimer mampu meningkatkan ketersediaan obat Alzheimer, hingga lima kali lipat dibandingkan formulasi konvensional. Lebih canggih lagi, nanopartikel berbasis cerium oxide yang dimodifikasi khusus dapat masuk ke mitokondria neuron, mengurangi stres oksidatif yang menjadi salah satu mesin perusak sel.

Hal ini bukan sekadar eksperimen laboratorium; beberapa formulasi sudah masuk uji klinis fase 2, menandai langkah nyata menuju terapi bagi alzheimer berbasis nanomedisin.


Regenerasi harapan

Bidang pengobatan regeneratif membuka babak baru. Penelitian ilmuwan dari Stanford Medicine (2023) membuktikan bahwa transplantasi sel punca hematopoietik bisa menggantikan mikroglia yang rusak pada model tikus Alzheimer. Mikroglia baru ini kembali aktif menyapu plak amyloid, seakan memberi otak kesempatan kedua. Target gen TREM2, yang variasinya sangat berisiko pada Alzheimer, menjadi fokus utama pendekatan ini.

Di sisi lain, secretome dan exosome dari sel punca menunjukkan potensi menenangkan peradangan, merangsang neuroplastisitas, dan memperbaiki jaringan. Bersamaan dengan itu, teknologi digital twin mulai diuji: model komputer otak pasien yang memungkinkan dokter "mencoba" terapi secara virtual sebelum diterapkan di tubuh nyata. Ini memperkecil risiko, sekaligus mempercepat penemuan terapi presisi.


Biologi kuantum

Riset di bidang imunologi terus melaju pesat. Obat berbasis antibodi monoklonal, seperti lecanemab, yang mendapat izin FDA pada 2023, bekerja layaknya "penyapu khusus" yang menargetkan protofibril beta-amyloid.

Tujuannya sederhana, yakni membersihkan sampah protein beracun yang menumpuk di otak. Walaupun hasilnya belum sempurna, perbaikan klinis masih terbatas dan efek samping, seperti bengkak otak perlu diawasi ketat, terapi ini membuka pintu baru. Pasien yang terdiagnosis dini, kini memiliki secercah harapan.

Di masa depan, imunoterapi tidak hanya berhenti pada amyloid. Antibodi lain sedang dikembangkan untuk menyerang protein tau, yang juga ikut memperparah kerusakan otak. Beberapa laboratorium, bahkan sedang menguji "vaksin Alzheimer" yang melatih sistem imun manusia agar mengenali dan menghancurkan protein abnormal sejak awal. Jika berhasil, konsep ini bisa mengubah Alzheimer dari penyakit yang tidak bisa dihentikan menjadi kondisi yang dapat dicegah sejak dini.

Imunoterapi juga mulai menyasar neuroinflamasi (peradangan kronis di otak). Pada Alzheimer, sel-sel imun otak yang disebut mikroglia bisa berubah menjadi "liar" dan justru merusak jaringan sehat. Obat baru mencoba "menenangkan" mikroglia agar kembali berfungsi normal, seperti pemadam kebakaran yang padamkan api, tanpa membakar rumah.

Tidak berhenti di sana, sains kini melirik ranah yang lebih kecil lagi, yakni biologi kuantum. Bidang ini mempelajari perilaku molekul dan atom dengan hukum fisika kuantum, sesuatu yang tidak bisa dijelaskan hanya dengan biologi klasik.

Peneliti menemukan bahwa cara protein tau salah lipat hingga menggumpal bisa dipengaruhi oleh interaksi kuantum di tingkat atom. Dengan memahami "gerakan rahasia" ini, ilmuwan bisa merancang obat yang benar-benar menargetkan titik paling awal, sebelum kerusakan terjadi.

Pendekatan kuantum juga mulai dipakai untuk pemodelan obat. Komputer kuantum mampu menyimulasikan ribuan kemungkinan interaksi molekul dalam waktu singkat, sesuatu yang butuh puluhan tahun jika hanya dengan komputer biasa. Ini membuat pencarian obat Alzheimer generasi baru bisa lebih cepat dan lebih tepat sasaran.

Semua perkembangan ini menunjukkan bahwa Alzheimer tidak lagi dipandang sebagai tembok kokoh yang mustahil ditembus. Dengan imunoterapi, kita punya senjata biologis yang semakin canggih.

Dengan biologi kuantum, kita punya kunci untuk membuka rahasia paling dalam dari otak manusia. Kombinasi keduanya menjanjikan masa depan di mana kehilangan memori, bukan lagi akhir, tetapi tantangan yang bisa diperlambat, bahkan suatu hari mungkin dicegah.

Sains memang berlari kencang, tetapi kehidupan sehari-hari penderita Alzheimer tetap menuntut perhatian sederhana, namun bermakna. Di klinik, pendekatan perawatan yang berpusat pada orang memadukan kontrol faktor risiko, manajemen gejala, dan dukungan keluarga.

Di rumah, rutinitas yang terstruktur, latihan kognitif, aktivitas fisik, dan gizi seimbang dapat memperlambat penurunan fungsi. Di komunitas, mengurangi stigma sama pentingnya dengan menemukan obat baru.

Komunitas yang ramah demensia dapat menghadirkan lingkungan aman, akses layanan kesehatan mental, dan kegiatan sosial yang menjaga interaksi. Kesadaran publik perlu diperkuat melalui edukasi berkelanjutan, sehingga setiap orang memahami bahwa perawatan bukan hanya tugas keluarga, melainkan tanggung jawab bersama masyarakat.

WHO menegaskan bahwa demensia adalah penyebab utama disabilitas pada lansia. Karena itu, kebijakan harus melibatkan lintas sektor, yakni kesehatan, sosial, pendidikan, hingga keuangan.

Dua kompas mesti berjalan bersama, yakni kompas sains yang mengarahkan pada inovasi berbasis bukti, dan kompas kemanusiaan yang memastikan akses adil, perlindungan data, serta dukungan pengasuh. Alzheimer bukan sekadar tentang neuron yang mati, melainkan tentang martabat yang harus dijaga.

Martabat itu berarti hak setiap orang untuk tetap dihargai, meskipun memorinya memudar. Etika dalam kebijakan menuntut agar layanan tidak hanya tersedia bagi yang mampu secara finansial, tetapi juga dapat dijangkau masyarakat kecil di desa.

Penelitian canggih harus sejalan dengan perlindungan privasi pasien, terutama terkait data genetik dan rekam medis digital. Dukungan untuk pengasuh juga bagian dari etika, mereka membutuhkan pelatihan, istirahat, dan pengakuan sosial. Dengan menyeimbangkan sains dan kemanusiaan, kita membangun ekosistem yang bukan hanya mencari obat, tetapi juga menjaga nilai hidup setiap individu.

Hari Alzheimer Sedunia 2025 mengusung tema #AskAboutDementia #AskAboutAlzheimers, mengajak publik berdialog dan memahami. Nanoteknologi, sel punca, imunoterapi, bioinformatika, hingga biologi kuantum, semuanya ibarat benang yang sedang menjahit kain harapan, namun tanpa empati masyarakat, benang itu tidak akan pernah menjadi kain utuh.

Alzheimer mungkin meredupkan memori, tetapi ia tidak boleh meredupkan kemanusiaan. Dengan setiap nanopartikel yang diteliti, setiap sel punca yang diuji, setiap algoritme yang dipetakan, kita bukan hanya memperlambat penyakit, kita tengah menjaga kisah, hubungan, dan ingatan yang menjadikan kita manusia.

*) Dokter Dito Anurogo MSc PhD adalah alumnus PhD dari Taipei Medical University Taiwan, dokter riset, dosen FKIK Unismuh Makassar, peneliti IMI, trainer-penulis produktif berlisensi BNSP, reviewer jurnal Internasional-nasional

Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |