Jakarta (ANTARA) - Centre of Reform on Economics (CORE) memperkirakan Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur Indonesia akan mengalami sedikit pemulihan pada Desember 2025, meskipun proyeksi sepanjang tahun ini masih cenderung kontraktif di bawah 50.
Direktur Eksekutif CORE Mohammad Faisal mengatakan rebound ini didorong oleh peningkatan permintaan domestik menjelang periode Natal dan Tahun Baru (Nataru).
"PMI itu kan dia melihat dari kinerja industri manufaktur, dari beberapa indikator, melihat supply chain-nya. Jadi lihat order, lihat produksi, lihat stok, lihat yang dikirim, lihat tenaga kerja. Berarti dia melihat demand sebetulnya itu," ujar Faisal dalam sebuah diskusi di Jakarta, Kamis.
Faisal menjelaskan kunci utama pergerakan PMI manufaktur Indonesia adalah permintaan dalam negeri. Meskipun ekspor berperan, kontribusinya dinilai relatif kecil dibandingkan dengan konsumsi domestik.
Ia menjelaskan prospek permintaan pada kuartal kedua, ketiga, dan keempat tahun ini akan masih menghadapi tekanan besar, yang membuat sektor manufaktur secara agregat cenderung lesu.
Faisal menyebut satu-satunya sektor yang masih menunjukkan kinerja positif adalah makanan dan minuman. Di luar sektor ini, kontraksi diperkirakan akan terus berlanjut.
Ia juga menyoroti tantangan berat dari sisi ekspor dan potensi tekanan impor. Industri padat karya seperti tekstil dan produk tekstil (TPT), yang sekitar 50 persen ekspornya ditujukan ke Amerika Serikat, diharapkan bisa membaik.
Namun, ia menyoroti Indonesia juga menghadapi tantangan daya saing di pasar AS karena persaingan harga dan logistik dengan kompetitor, seperti Vietnam.
"Tarif dasar untuk produk tekstil Indonesia itu 5-15 persen. Vietnam 0 persen,” kata dia.
Bahkan menurutnya, dengan tarif resiprokal AS yang sudah turun menjadi 19 persen untuk Indonesia, total tarif untuk TPT Indonesia masih lebih tinggi dibandingkan Vietnam.
Di sisi impor, lanjut dia, industri TPT juga menghadapi ancaman dari limpahan produk China akibat oversupply dan perang dagang AS-China. Kondisi ini menciptakan persaingan yang makin ketat di pasar domestik.
“Kompetisinya makin besar di industri tekstil dan produk tekstil. Jadi sangat mungkin masih kontraksi, kecuali Desember," ujarnya menambahkan.
Sektor manufaktur Indonesia kembali mengalami kontraksi signifikan pada kuartal kedua 2025, dengan PMI terus berada di bawah ambang batas 50.
Berdasarkan survei S&P Global, PMI manufaktur Indonesia anjlok ke 46,7 pada April 2025, lalu sedikit membaik menjadi 47,4 pada Mei, dan kembali turun ke 46,9 pada Juni.
Penurunan ini utamanya disebabkan oleh merosotnya volume produksi dan permintaan baru. Dengan lesunya permintaan, perusahaan-perusahaan mulai melakukan efisiensi dengan mengurangi aktivitas pembelian dan perekrutan tenaga kerja sejak awal triwulan kedua.
Baca juga: Komisi VII DPR: Pemerintah harus cepat atasi penurunan PMI manufaktur
Baca juga: PMI Manufaktur RI turun, Wamenperin: Ada banyak faktor
Baca juga: Kemenperin nilai PMI manufaktur turun karena tarif AS dan banjir impor
Pewarta: Shofi Ayudiana
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.