Haikou (ANTARA) - China-Southeast Asia Countries International Training Course on Fishery Technology yang diselenggarakan oleh Kementerian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi China serta diadakan oleh Sanya Tropical Fishery Research Institute, digelar pada 1 hingga 15 Agustus di Sanya, Provinsi Hainan, China selatan.
Sebanyak 22 peserta dari 11 negara di Asia Tenggara dan Afrika, termasuk Indonesia, berkumpul untuk bertukar gagasan tentang inovasi dan pembangunan berkelanjutan dalam ilmu pengetahuan serta teknologi perikanan.
Muhammad Fadil Mursyid, perwakilan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, mengatakan kedua pihak telah bersama-sama melakukan penelitian dan proyek praktis di bidang akuakultur berkelanjutan, sekaligus memperkenalkan teknologi maju China ke Indonesia.
"Kolaborasi ini telah membantu meningkatkan produktivitas perikanan, memperbaiki konservasi sumber daya, serta menciptakan lebih banyak peluang ekonomi bagi masyarakat nelayan," ujarnya.
Selama program 15 hari tersebut, para peserta mengikuti kuliah, pelatihan teknis, serta kunjungan lapangan untuk memperoleh pengetahuan langsung mengenai keahlian China dalam pemuliaan genetik organisme akuatik tropis, budi daya efisien, pengolahan makanan laut, dan sebagainya.
Mursyid mengatakan kunjungan ke fasilitas percontohan akuakultur modern meninggalkan kesan mendalam. "Jika teknologi ini dapat diterapkan di wilayah seperti Sumatra dan Jawa, akan membantu meningkatkan produksi sekaligus mendorong keberlanjutan lingkungan," tuturnya.
Arfiani Rizki Paramata, lektor kepala Universitas Negeri Gorontalo, menyoroti potensi besar kerja sama China-Indonesia dalam budi daya kerapu. Dia menambahkan bahwa perjanjian yang ditandatangani antara kedua negara tidak hanya meningkatkan kualitas dan keamanan produk perikanan Indonesia, tetapi juga memperluas ekspor ke China serta menarik lebih banyak investasi ke sektor perikanan Indonesia.
"Saya berharap dapat memanfaatkan pengetahuan dari program ini untuk meningkatkan kapasitas riset dan pengajaran universitas saya di bidang perikanan, serta memperkuat daya saing internasional kami," imbuhnya.

Evi Nur Fadilla, yang mewakili industri pengolahan makanan laut Indonesia, memberi perhatian khusus pada penerapan sistem resirkulasi akuakultur dan manajemen perikanan berbasis AI di China.
"Kebanyakan akuakultur di Indonesia masih mengandalkan metode tradisional dengan pengolahan lingkungan serta fasilitas modern yang terbatas," katanya.
"Saya berharap kami dapat memperkenalkan peralatan dan teknologi maju China di masa depan untuk mendorong budi daya efisien dan ramah lingkungan pada komoditas utama kami seperti tuna, kerapu, dan lobster," tutur Evi
Zhao Wang, associate researcher di Sanya Tropical Fisheries Research Institute, mengatakan kegiatan ini merupakan bagian penting dari program pelatihan teknis China untuk negara berkembang.
"Program ini bertujuan untuk berbagi teknologi perikanan maju China dengan negara berkembang, membangun platform pertukaran ilmu dan budaya perikanan, serta mendorong pengembangan ekonomi biru regional," ujarnya.
Ke depannya, Paramata menekankan bahwa keterbukaan dan dukungan teknis China telah memberikan dorongan kuat bagi perkembangan perikanan Indonesia. "Di masa mendatang, kita dapat lebih memperluas kerja sama dalam pelatihan talenta, manajemen perikanan berkelanjutan, serta penelitian ilmiah bersama," ujarnya.
Pewarta: Xinhua
Editor: Maria Rosari Dwi Putri
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.