BNN: RUU Narkotika harus jelas atur kewenangan dan peran kelembagaan

4 hours ago 5

Jakarta (ANTARA) - Badan Narkotika Nasional (BNN) memandang Rancangan Undang-Undang (RUU) Narkotika dan Psikotropika harus jelas mengatur kewenangan dan peran kelembagaan dalam memberantas narkotika.

Dalam acara Sarasehan Revisi Undang-Undang Narkotika dan Psikotropika di Jakarta, Selasa (29/4), Kepala BNN Komisaris Jenderal Polisi Marthinus Hukom mengatakan pengaturan jelas suatu lembaga penting pada UU, dalam hubungannya dengan penegakan hukum beserta kewenangannya.

“Saya meminta para pejabat harus mampu berinteraksi untuk membentuk suatu argumen yang kuat bahwa dalam revisi UU ini penjelasan tentang nama kelembagaan itu menjadi sangat penting dan itu akan kami minta dari para ahli,” ujar Komjen Pol. Marthinus, seperti dikonfirmasi di Jakarta, Rabu.

Dengan adanya kewenangan dan peran suatu lembaga di dalam UU, khususnya narkotika, kata dia, maka peran suatu lembaga dalam upaya penegakan hukum menjadikan semakin jelas.

Senada dengan Kepala BNN, Deputi Hukum dan Kerja Sama BNN Agus Irianto mengatakan bahwa apa yang disampaikan terkait kelembagaan dalam revisi UU sangat mendesak, sehingga jangan sampai terjadi degradasi kewenangan antara penegak hukum.

Dia menekankan bahwa revisi UU juga dilakukan agar tidak terjadi kekacauan hukum yang berjalan bersama-sama tetapi mempunyai semangat yang berbeda.

Misalnya, lanjut dia, dari segi keadilan restoratif atau restorative justice dalam penegakan hukum, yang merupakan salah satu cara penegakan hukum yang disebut out of court settlement atau penyelesaian perkara di luar sidang pengadilan.

Disebutkan bahwa pada sisi lain, yaitu pemidanaan, jika tidak segera dilakukan pemidanaan dikhawatirkan para bandar akan memilih penyelesaian perkara di luar persidangan karena ada dua aturan yang bertentangan.

BNN mencatat terdapat beberapa poin pembahasan RUU Narkotika yang masih menjadi permasalahan, antara lain adanya rumusan ketentuan pidana yang menimbulkan ketidakpastian hukum serta adanya perbedaan pengaturan kewenangan penyidik BNN dan penyidik Polri sehingga menimbulkan ketidakpastian dalam penegakan hukum tindak pidana narkotika dan psikotropika.

Poin lainnya, yakni harta kekayaan atau harta benda hasil tindak pidana narkotika belum maksimal digunakan untuk pelaksanaan kegiatan Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika (P4GN) serta upaya rehabilitasi.

Kemudian, masih terdapat pula ketidakjelasan pendefinisian pecandu narkotika, penyalahguna narkotika, dan korban penyalahgunaan narkotika yang berdampak pada penanganan yang sama dengan bandar ataupun pengedar narkotika.

Selain itu, dinilai bahwa dalam RUU masih diperlukan adanya standardisasi yang sama dan diterapkan ke seluruh lembaga rehabilitasi narkotika, baik yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau masyarakat serta belum maksimalnya peran Tim Asesmen Terpadu (TAT) untuk menganalisa tingkat kecanduan, model penanganan, dan tindakan yang harus dilakukan terhadap penyalahguna narkotika.

BNN menggelar Sarasehan Revisi Undang-Undang Narkotika dan Psikotropika dengan mengusung tema Urgensi Kelembagaan BNN dalam Perubahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Narkotika dan Psikotropika.

Sarasehan menghadirkan beberapa narasumber yang ahli di bidangnya, di antaranya Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Prof. Harkristuti Harkrisnowo Direktur Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan I Dirjen Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum Roberia, serta Deputi Hukum dan Kerja Sama BNN Agus Irianto.

Baca juga: Komisi III DPR minta pemerintah kirim kembali DIM revisi UU Narkotika

Baca juga: Menakar urgensi pengesahan segera revisi UU Narkotika

Pewarta: Agatha Olivia Victoria
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
Rakyat news | | | |