Jakarta (ANTARA) - Pemerintah sedang menggagas Koperasi Desa Merah Putih sebagai solusi baru untuk menggerakkan ekonomi desa dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Inisiatif ini menarik, karena menempatkan koperasi sebagai alat utama dalam memberdayakan ekonomi pedesaan.
Namun, dalam melihat peluang tersebut, penting untuk memastikan bahwa program ini tidak hanya menjadi tambahan dari berbagai inisiatif yang telah ada, tetapi benar-benar membawa dampak positif yang nyata bagi masyarakat desa.
Dalam satu dekade terakhir, desa-desa di Indonesia telah memiliki Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang berfungsi sebagai pengelola usaha desa berbasis potensi lokal.
Banyak BUMDes yang sukses dalam mengembangkan usaha di berbagai sektor, mulai dari pengelolaan air bersih hingga agrowisata.
Dana desa yang disalurkan setiap tahun juga seharusnya cukup untuk memperkuat BUMDes jika dikelola dengan optimal. Namun, salah satu tantangan utama yang dihadapi BUMDes adalah kurangnya manajemen profesional dan pendampingan yang berkelanjutan.
Dalam konteks ini, kehadiran Koperasi Desa Merah Putih bisa menjadi pendukung yang mempercepat perbaikan ekosistem usaha desa, bukan sebagai pesaing yang justru membingungkan masyarakat desa dengan skema baru.
Di sisi lain, ada juga Koperasi Unit Desa (KUD), yang pada masa lalu berperan penting dalam mendukung perekonomian desa, terutama di sektor pertanian.
KUD menjadi mitra utama petani dalam menyalurkan pupuk bersubsidi, benih unggul, dan alat produksi. Sayangnya, seiring dengan perubahan kebijakan dan kurangnya inovasi, banyak KUD yang mengalami stagnasi atau bahkan mati suri.
Jika pemerintah ingin membangkitkan ekonomi desa berbasis koperasi, menghidupkan kembali KUD dengan model bisnis yang lebih modern, transparan, dan berbasis teknologi bisa menjadi langkah yang lebih efektif.
Menteri Koperasi Budi Arie Setiadi mengatakan Koperasi Desa Merah Putih adalah gagasan yang lahir dari visi besar Presiden Prabowo untuk membangun perekonomian berbasis kebersamaan sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945.
Program ini dirancang untuk mengatasi berbagai kendala yang selama ini menghambat pertumbuhan ekonomi desa, seperti rantai distribusi yang panjang, keterbatasan permodalan, dan dominasi middleman yang sering kali menekan harga hasil pertanian dan produk desa.
Dengan menciptakan koperasi sebagai pusat ekonomi desa, pemerintah berharap dapat memangkas biaya distribusi, meningkatkan daya saing petani dan produsen lokal, serta mempercepat akses masyarakat desa terhadap pasar yang lebih luas.
Strategi Nasional
Melihat latar belakang ini, memang tampak bahwa Koperasi Desa Merah Putih bukan sekadar tambahan dari program yang sudah ada seperti BUMDes atau KUD, tetapi berupaya mengisi celah yang selama ini belum tersentuh secara optimal.
BUMDes memang telah berperan dalam pengelolaan usaha desa, tetapi banyak di antaranya yang masih mengalami kendala manajerial dan kurang memiliki akses permodalan yang fleksibel.
Sementara itu, KUD yang dulu menjadi tulang punggung distribusi pupuk dan sarana produksi pertanian kini banyak yang mengalami stagnasi atau bahkan tidak lagi aktif. Dalam konteks ini, Koperasi Desa Merah Putih hadir sebagai model baru yang diharapkan lebih adaptif terhadap tantangan ekonomi saat ini.
Sebagai bagian dari strategi nasional, rencana pembentukan 70.000 koperasi desa ini tidak dilakukan secara sembarangan. Pemerintah kata Menkop Budi Arie, telah memetakan karakteristik pedesaan Indonesia dengan membaginya ke dalam empat klaster pengembangan, yaitu Sumatera, Jawa dan Bali, Kalimantan-Sulawesi-Nusa Tenggara, serta Maluku dan Papua.
Pemetaan ini bertujuan untuk memastikan bahwa koperasi yang dibentuk dapat menyesuaikan diri dengan kebutuhan spesifik dan potensi yang ada di setiap wilayah. Dengan demikian, koperasi tidak hanya menjadi wadah distribusi modal, tetapi benar-benar menjadi pusat ekonomi yang mengoptimalkan sumber daya lokal.
Dalam implementasinya, koperasi desa ini tidak hanya mengandalkan dana dari APBN dan APBD, tetapi juga membuka peluang bagi pendanaan dari dana desa, simpanan wajib anggota, hibah, tanggung jawab sosial (CSR) perusahaan, dan skema pembiayaan khusus melalui Himbara.
Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak ingin menjadikan koperasi ini sekadar proyek berbasis bantuan, tetapi lebih pada membangun ekosistem ekonomi yang mandiri dan berkelanjutan.
Salah satu aspek yang menarik adalah rencana pembentukan gudang modern dan enam outlet strategis di setiap koperasi, yang akan berfungsi sebagai pusat produksi dan distribusi barang, termasuk sembako, obat-obatan, dan produk pertanian.
Dengan model ini, koperasi tidak hanya berfungsi sebagai lembaga keuangan, tetapi juga sebagai penggerak ekonomi nyata di desa.
Keberadaan koperasi ini juga diharapkan dapat mempercepat inklusi keuangan bagi masyarakat desa. Dengan semakin banyaknya desa yang memiliki koperasi, akses terhadap pembiayaan usaha mikro dan simpan pinjam akan semakin terbuka, sehingga masyarakat tidak lagi bergantung pada pinjaman berbunga tinggi dari rentenir atau lembaga keuangan informal lainnya.
Selain itu, koperasi desa ini dapat menjadi wadah untuk mengedukasi masyarakat dalam hal literasi keuangan dan manajemen usaha, yang selama ini menjadi salah satu kendala utama dalam pengelolaan usaha mikro di pedesaan.
Belajar dari sejarah
Direktur Cooperative Research Center (CRC) Insitut Teknologi Keling Kumang, Suroto, mengatakan hal penting yang perlu diperhatikan dalam pengembangan koperasi desa adalah belajar dari pengalaman masa lalu. Indonesia sebaiknya tidak mengulang tidak optimalnya sistem Koperasi Unit Desa (KUD).
Koperasi yang ada harus dibangun dari atas prakarsa masyarakat sendiri dan koperasi wajib selenggarakan pendidikan kepada anggotanya tentang ideologi koperasi, manfaat, hak dan kewajiban, serta tata kelola koperasi yang demokratis. Jika tidak dilandasi dengan sistem organisasi yang kuat maka investasi sebaik apapun akan sulit berkembang.
Suroto yang juga Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES) dan CEO Induk Koperasi Usaha Rakyat (INKUR ) itu mengatakan keberhasilan koperasi desa ini tetap bergantung pada beberapa faktor kunci, di antaranya koperasi harus memiliki tata kelola yang profesional dan transparan.
Belajar dari pengalaman BUMDes dan KUD, banyak usaha berbasis desa yang mengalami kendala akibat lemahnya manajemen dan kurangnya akuntabilitas dalam pengelolaan dana.
Oleh karena itu, pemerintah perlu memastikan bahwa setiap koperasi memiliki sistem manajemen yang baik, didukung oleh sumber daya manusia yang terlatih dan memiliki akses terhadap pendampingan teknis yang berkelanjutan.
Kemudian, koperasi ini harus mampu beradaptasi dengan perubahan teknologi. Digitalisasi adalah kunci untuk mempercepat pertumbuhan koperasi, baik dalam aspek manajemen internal maupun pemasaran produk.
Dengan memanfaatkan platform digital, koperasi bisa memperluas akses pasar, mengurangi biaya operasional, dan meningkatkan efisiensi distribusi.
Oleh karena itu, pemerintah perlu mendorong pengembangan infrastruktur digital di desa-desa, termasuk penyediaan akses internet yang lebih merata.
Koperasi juga harus memiliki orientasi pasar yang jelas. Salah satu kesalahan yang sering terjadi dalam program ekonomi berbasis masyarakat adalah terlalu berfokus pada aspek produksi tanpa memperhitungkan permintaan pasar.
Agar koperasi dapat berkembang, harus ada strategi pemasaran yang matang, termasuk menjalin kemitraan dengan industri besar, marketplace digital, serta memanfaatkan jaringan distribusi yang lebih luas.
Dengan pendekatan ini, koperasi desa tidak hanya akan bergantung pada konsumsi lokal, tetapi juga dapat menjangkau pasar regional dan nasional.
Di sisi lain, pemerintah juga harus memastikan adanya mekanisme monitoring dan evaluasi yang ketat. Dengan skala program yang sangat besar, risiko penyalahgunaan atau inefisiensi dalam implementasi selalu ada.
Oleh karena itu, perlu ada sistem pemantauan yang transparan dan melibatkan berbagai pihak, termasuk masyarakat desa, akademisi, dan organisasi masyarakat sipil.
Dengan demikian, koperasi ini dapat berkembang secara sehat dan benar-benar memberikan manfaat bagi anggotanya.
Koperasi Desa Merah Putih sejatinya merupakan langkah besar yang dapat membawa perubahan signifikan bagi perekonomian pedesaan.
Dengan desain yang matang dan strategi yang tepat, koperasi ini memiliki potensi untuk menjadi lokomotif baru bagi pertumbuhan ekonomi berbasis komunitas.
Namun, kesuksesan program ini tidak bisa hanya bergantung pada skema pendanaan dan infrastruktur semata. Yang lebih penting adalah membangun ekosistem yang kuat, berbasis pada tata kelola yang baik, pemanfaatan teknologi, serta strategi pemasaran yang efektif.
Jika pemerintah dapat memastikan bahwa koperasi ini dikelola secara profesional, berbasis pada potensi lokal, serta memiliki keterkaitan yang erat dengan pasar, maka Koperasi Desa Merah Putih bisa menjadi tonggak baru dalam pembangunan ekonomi desa.
Dengan model bisnis yang kuat dan pendekatan yang berkelanjutan, koperasi ini bukan hanya sekadar proyek jangka pendek, tetapi bisa menjadi warisan yang akan terus menggerakkan ekonomi desa dalam jangka panjang.
Copyright © ANTARA 2025