Jakarta (ANTARA) - Bayangkan seekor bebek berenang di permukaan air. Dari atas, ia tampak tenang, meluncur anggun tanpa gangguan. Namun, di bawah permukaan, kakinya mengayuh kencang untuk tetap bergerak.
Dari fenomena bebek berenang itu kemudian muncul istilah duck syndrome, keadaan di mana seseorang terlihat baik-baik saja, bahkan bahagia, tetapi sebenarnya bergulat dengan tekanan besar dalam hati dan pikiran. Fenomena ini ramai dibicarakan di media sosial beberapa waktu lampau, saat sebuah unggahan viral mengungkap kepanikan yang tersembunyi di balik ketenangan semu.
Di Indonesia, tekanan sosial, harapan lingkungan, dan tanggung jawab keluarga memperdalam sindrom ini, tak hanya pada pekerja biasa, tetapi juga pengusaha yang tampak sukses. Ada jalan keluar melalui pendekatan sederhana: Sadari, Nerima, dan Perbaiki (SNP). Mari kita telusuri lebih dalam dan temukan harapan di baliknya.
Duck syndrome pertama kali dikenal di Universitas Stanford, menggambarkan mahasiswa yang tampak santai namun berjuang keras demi memenuhi standar akademik yang tinggi.
Dalam kehidupan nyata, ini meluas ke berbagai kalangan. Seorang pengusaha, misalnya, bisa tampil sebagai sosok sukses: bisnisnya terkenal, omzetnya besar, gaya hidupnya terlihat stabil. Dari luar, ia menjadi inspirasi, tapi di dalam, hatinya menangis. Utang menumpuk, proyek demi proyek dicoba untuk menutup lubang, namun justru menyeretnya lebih dalam. Ia tersenyum di depan klien, tapi malam hari ia terjaga, memikirkan cicilan yang tak kunjung usai.
Penyebab duck syndrome bermacam-macam: harapan besar dari lingkungan, sifat perfeksionis yang membuatnya sulit menerima kegagalan, hingga luka masa lalu yang memaksanya terus berlari. Media sosial memperburuk dengan kehidupan sempurna dipamerkan para influencer, padahal ada yang terjerat utang demi menjaga citra.
Bagaimana cara keluar dari jerat ini? Solusinya dimulai dari SNP (Sadari, Nerima, dan Perbaiki) sebagai langkah yang saling menguatkan.
Pertama, sadari adalah awal yang membutuhkan keberanian. Renungkan dalam hening: berapa banyak waktu tersita untuk kerja? Apa yang dikorbankan? Kesehatan, keluarga, atau ketenangan?
Bagi pengusaha, kesadaran ini salah satunya bisa berarti menyadari bahwa kebiasaan berutang melebihi kemampuan membayar adalah pola buruk yang tak diridai Sang Pencipta. Atau mengakui bahwa kerja keras yang mengabaikan keluarga adalah ketidakseimbangan yang tak disenangi-Nya. Mungkin ada pula kebiasaan lain -mencari jalan pintas, mengejar ambisi tanpa batas- yang mengacaukannya. Kesadaran ini terasa berat, tapi membuka mata, bahwa tak ada yang sempurna, dan melihat kekurangan adalah langkah menuju kelegaan.
Kedua, nerima adalah bentuk kejujuran yang menyentuh hati. Ini bukan menyerah, melainkan berdamai dengan Sang Pencipta dan diri sendiri. Seorang kepala keluarga mungkin menghadapi akibat pahit: utang yang tak terlunasi, hubungan yang renggang, atau kebebasan yang hilang karena masalah hukum. Bahkan, ia bisa terpuruk ke titik terendah, kehilangan segalanya.
Namun, nerima adalah wujud syukur. Ia tak lagi merasa mampu mengendalikan segalanya, tak lagi menyembunyikan kelemahan. Ia percaya ada kekuatan Maha Besar yang bisa memaafkan dan memperbaiki apa yang tak mampu ia gapai. Berdamai dengan keadaan membukakan hati: akibat itu nyata, tapi ada asa di baliknya. Penerimaan ini memberi ruang untuk bernapas, melepaskan beban yang selama ini dipendam dalam sunyi.
Ketiga, perbaikan adalah langkah nyata menuju keberlanjutan. Berusaha dari yang baik menjadi langkah penting selanjutnya. Ini tak hanya soal bersungguh-sungguh meningkatkan keterampilan, atau bekerja keras, baik sebagai pekerja maupun pengusaha. Ini tentang kecerdasan, keikhlasan, dan ketelitian.
Bekerja cerdas berarti mengelola sumber daya dengan bijak, tidak selalu dengan menambah utang baru. Ikhlas menerima hasil membawa ketenangan, sementara ketelitian memastikan setiap langkah menjadi berarti. Berusaha yang baik harus halal, transaksi maupun dzat-Nya.
Bekerja dari subuh hingga larut mungkin wajar bagi pengusaha, tapi jika hak keluarga terabaikan, itu bisa jadi kelalaian di mata Sang Pencipta. Anak-anak membutuhkan ayah dalam masa tumbuhnya, istri berhak atas kehadiran suami. Ketidakseimbangan ini bisa jadi yang membatasi rezeki, seolah alam semesta tak menyetujuinya. Ketika kesadaran dan penerimaan hadir, perbaikan membawa getaran positif, seperti garpu tala yang beresonansi dengan alam, mengundang pertolongan tak terduga melalui hukum tarik-menarik positif.
Perbaikan diperkuat dengan konsep “penting-mendesak”, sejalan dengan kebijaksanaan Imam Syafi’i dan Matriks Eisenhower.
Dalam empat kuadran, tugas dibagi: penting dan mendesak (segera dilakukan), penting tapi tak mendesak (direncanakan), tak penting tapi mendesak (didelegasikan), tak penting dan tak mendesak (disingkirkan).
Penting didefinisikan dengan lima aspek: menjaga agama, kehidupan, akal, keturunan, dan harta. Misalnya, menemani anak untuk menjaga keturunan adalah penting tapi tak mendesak, harus direncanakan. Mengejar proyek baru mungkin mendesak, tapi jika tak menjaga harta atau akal, itu bisa disingkirkan.
Mulailah dengan langkah sederhana: tentukan berapa penghasilan yang ideal untuk mencapai hidup yang seimbang. Yakni yang bisa untuk berzakat, sedekah, memenuhi biaya hidup, dana darurat, dan investasi untuk kebutuhan masa depan. Kemudian, batasi kerja maksimal 8-10 jam sehari. Selalu ingat untuk menyisihkan waktu bagi keluarga -satu jam bermain dengan anak, berbincang dengan pasangan- karena ini menjaga akal dan keturunan.
SNP menjadi petunjuk lembut bagi jiwa yang mencari arah. Kesadaran membukakan mata pada kekeliruan, penerimaan menenangkan hati di tengah badai, dan perbaikan membangun jembatan menuju keberlanjutan.
Duck syndrome mengingatkan bahwa keberhasilan sejati bukan apa yang dilihat orang, melainkan ketenangan yang dirasa. Terjebak mengayuh demi kewajiban atau ambisi adalah kenyataan yang getir, namun selalu ada asa di ujungnya.
Pertanyaannya kini: apakah ingin jadi bebek yang mengayuh hingga tenggelam, atau menjadi manusia yang berani bangkit demi kehidupan yang seimbang? Langkah kecil hari ini -menyadari, menerima, dan memperbaiki- bisa membawa esok yang tak pernah terpikirkan sebelumnya.
Keberlanjutan bukan hanya tentang harta, namun tentang jiwa yang menemukan cahaya setelah hilang arah di kegelapan.
*) Baratadewa Sakti P adalah praktisi Keuangan Keluarga & Pendamping Keuangan Bisnis UMKM
Copyright © ANTARA 2025