Wahai santri, kuatkan diri dan jangan berkecil hati

4 days ago 6

Jakarta (ANTARA) - Di banyak tempat di Indonesia, kata santri masih kerap dibayangi oleh stereotip lama. Dianggap kolot, kampungan, bahkan tertinggal dari kemajuan zaman.

Masih ada yang memandang santri sekadar sosok bersarung, hidup di pondok sederhana, jauh dari gemerlap dunia modern.

Padahal di balik kesahajaan itu, tersimpan daya juang dan semangat kebangsaan yang telah mengalir jauh lebih lama dari usia republik ini sendiri.

Santri bukanlah mereka yang ketinggalan, melainkan mereka yang sejak awal berada di barisan depan menjaga jiwa bangsa.

Sejarah Indonesia mencatat bahwa gerakan santri telah ada jauh sebelum proklamasi kemerdekaan. Mereka tumbuh dari lingkungan pesantren yang sederhana. Dinding bilik bambu, lampu minyak, kitab kuning, dan lantunan ayat suci yang tak pernah padam, hingga dini hari.

Di tempat itulah, nilai keikhlasan, kesederhanaan, dan kecintaan pada tanah air ditempa. Pesantren bukan hanya tempat menimba ilmu agama, melainkan juga kawah candradimuka pembentukan karakter cinta damai, tangguh, dan siap berkorban.

Dari rahim pesantren inilah lahir generasi yang berani berdiri tegak menghadapi penjajah dengan keyakinan spiritual yang kokoh.

Pemersatu bangsa

Ketika republik ini belum lahir, para santri telah lebih dulu mengibarkan semangat kebebasan. Di masa perjuangan, nama-nama, seperti KH Hasyim Asy’ari, KH Wahid Hasyim, KH Ahmad Dahlan, hingga KH Zainul Arifin, menjadi teladan pentingnya peran santri, tak hanya di langgar dan surau, tetapi juga di gelanggang perjuangan.

Resolusi Jihad yang dikumandangkan pada 22 Oktober 1945 di Surabaya, yang kini diperingati sebagai Hari Santri, bukan sekadar seruan keagamaan, melainkan panggilan suci untuk mempertahankan tanah air.

Dari pesantrenlah lahir spirit "Hubbul wathan minal iman" atau cinta tanah air adalah bagian dari iman yang menjadi fondasi nasionalisme religius di negeri ini.

Mereka yang disebut santri tak hanya memegang kitab suci, tetapi juga memanggul senjata, menyiapkan logistik, menjadi kurir, perawat, hingga penyebar kabar perjuangan. Para santri tak mengenal pangkat atau pamrih. Mereka bergerak karena panggilan jiwa.

Dalam sejarah itu, pesantren tidak pernah lepas dari denyut kebangsaan. Ia menjadi ruang perlawanan kultural terhadap kolonialisme dan ruang pembentukan manusia merdeka, bukan hanya secara politik, tetapi juga spiritual.

Sayangnya, setelah kemerdekaan diraih, peran santri seolah kembali dipinggirkan oleh modernitas. Di tengah gemuruh pembangunan, pesantren dianggap tak relevan dengan arus zaman.

Santri disebut tak marketable, tak memiliki keterampilan yang "menjual". Pandangan itu perlahan luntur, tapi belum sepenuhnya hilang. Padahal, bila ditelusuri, banyak santri justru menjadi bagian penting dalam pembangunan Indonesia modern.

Kita bisa menyebut KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, santri tulen yang mengajarkan kepada bangsa ini arti kemanusiaan, tanpa sekat. Bukan sekadar pemimpin politik, tetapi juga pemikir besar yang menjembatani tradisi pesantren dengan wacana global.

Ada pula KH Mustofa Bisri atau Gus Mus yang dengan kelembutan bahasanya menyejukkan hati banyak orang di tengah panasnya perdebatan sosial. Dari dunia hukum, ada Mahfud MD yang dengan ketegasannya membuktikan santri bisa menjadi penjaga konstitusi.

Dari dunia pendidikan, ada Haedar Nashir, Din Syamsuddin, hingga Said Aqil Siradj yang memimpin ormas besar dan mendorong pembaruan pemikiran Islam yang moderat.

Kini, santri juga tampil di lini-lini baru yang mungkin tak pernah dibayangkan sebelumnya. Ada anak pesantren yang menjadi pengembang teknologi digital, programmer, hingga inovator sosial.

Beberapa alumni pesantren, kini juga mendirikan start-up berbasis pendidikan dan dakwah digital, memanfaatkan media sosial untuk menebarkan pengetahuan dan kebaikan.

Di dunia olahraga, sejumlah punggawa Timnas Indonesia, seperti Evan Dimas Darmono dan Asnawi Mangkualam Bahar menjadi contoh betapa meluasnya peran santri di Indonesia.

Semua itu membuktikan kesan "kampungan" yang dulu dilekatkan, kini perlahan pudar, diganti dengan rasa hormat.

Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |