Bondowoso (ANTARA) - Pernikahan adalah perjalanan panjang seumur hidup bagi dua insan dengan latar belakang berbeda, yang kemudian bersepakat untuk hidup bersama dalam suka dan duka.
"Hidup bersama dalam suka dan duka" adalah frasa indah penuh rasa romantis yang praktiknya, tidak semuanya mewujud nyata, seperti bait tersebut. Faktanya, tidak sedikit pasangan itu tidak berdaya untuk mempertahankan janji suci yang mungkin tak terucap itu.
Gelombang hidup atau badai yang seringkali datang tidak terduga dalam pelayaran bahtera keluarga, membawa dua insan yang awalnya bersepakat saling mencintai itu harus menyerah pada keadaan, dengan cara berpisah.
Beban jiwa dari prahara keluarga yang berujung pada perceraian itu bukan hanya menimpa lelaki dan perempuan yang mantan pasangan itu, melainkan juga menimpa anak-anak mereka. Bahkan, anak-anak itu lebih berat menanggung beban batin akibat perceraian orang tuanya.
Anak-anak korban perceraian orang tua sering terjebak dalam rasa terabaikan, rendah diri, dan berujung pada kondisi jiwa yang terus menerus terguncang karena terlalu banyak larut dalam pikiran berlebih atau overthinking.
Kondisi kejiwaan anak-anak muda yang menjadi korban perceraian itu pada akhirnya berujung pada kondisi negara dan bangsa secara keseluruhan.
Mereka yang seharusnya menjadi pemegang estafet perjalanan panjang bangsa ini tumbuh menjadi generasi yang kurang tangguh, bahkan ikut memperpanjang kerapuhan keluarga di masa berikutnya, ketika mereka yang belum selesai dengan dirinya, juga harus memasuki masa berumah tangga. Teori psikologi menyebutkan bahwa anak-anak yang dulunya menjadi korban, pada akhirnya juga menjadi pelaku.
Jika tidak tertangani dengan baik, luka batin seorang anak akibat perceraian orang tua, akan berpotensi menjadi pelaku perceraian di masa mendatang. Atas dasar logika sebab akibat ini , maka program pembinaan perkawinan menjadi sangat penting bagi anak-anak muda, sebelumnya mengikuti ijab kabul di depan penghulu.
Tepuk Sakinah
Menghadapi kenyataan itu, negara tidak pernah tinggal diam. Negara selalu hadir untuk menyiapkan mental dua insan yang akan menuju jenjang pernikahan, salah satunya lewat bimbingan perkawinan (bimwin) yang dijalankan oleh Kementerian Agama.
Agar memiliki daya tarik bagi pasangan calon pengantin, Kemenag terus mencari formula bimbingan yang sesuai dengan kejiwaan anak-anak muda. Salah satu materi dalam bimbingan perkawinan itu adalah "Tepuk Sakinah" yang saat ini viral di media sosial, hingga menjadi perbincangan hangat warganet.
Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama Abu Rokhmad mengatakan inovasi kreatif "Tepuk Sakinah" dibuat agar calon pengantin mengingat dengan mudah lima pilar membangun keluarga sakinah.
Melalui metode riang itu para calon pengantin lebih mudah mengingat dan tentu dipraktikkan dalam hidup berkeluarga.
Bunyi dari lagu Tepuk Sakinah itu adalah, "Berpasangan, berpasangan, berpasangan. Janji kokoh, janji kokoh, janji kokoh. Saling cinta, saling hormat, saling jaga, saling ridlo. Musyawarah untuk sakinah".
Lagu Tepuk Sakinah itu dibawakan dengan diikuti gerakan tangan, tubuh dan kaki, sehingga mudah untuk diingat.
Pada dasarnya lagu itu diambil dari lima pilar keluarga sakinah yang diformulasikan oleh Kementerian Agama, yakni zawaj (berpasangan), mitsaqan ghalidzan (janji kokoh), mu'asyarah bil ma'ruf (saling cinta, hormat, menjaga, dan berbuat baik), musyawarah, serta taradhin (saling rida).
Dalam zawaj ada prinsip keadilan, kesetaraan, dan kesalingan. Pada prinsip ini, mengingatkan agar dalam keluarga tidak ada diskriminasi, terutama suami terhadap istri, meskipun tidak menutup kemungkinan diskriminasi itu juga terjadi dari istri kepada suami.
Pilar ini menjawab persoalan budaya kolektif yang seharusnya menjadi fondasi dalam pernikahan, malah justru menjadi masalah, terutama dalam masyarakat penganut budaya patriarki. Dalam budaya ini, suami sering kali harus diposisikan sebagai "raja".
Ketika si "raja" mampu bersikap bijak dan adil, tentu pendasaran pernikahan di atas budaya ini tidak ada masalah. Peran itu tetap bisa dijalankan dengan sangat fleksibel, sehingga antara suami dengan istri sama-sama berposisi sebagai "raja", sehingga saling menghormati dalam kesetaraan.
Hanya saja, dalam praktiknya, pernikahan dalam budaya laki-laki berada di posisi lebih tinggi dari perempuan, sering kali menimbulkan masalah. Baik suami maupun Istri sama-sama menjadi korban dari harapan yang tidak sejalan.
Si istri merasa diperlakukan tidak adil karena hidupnya tidak nyaman, dana pada saat bersamaan, si suami juga demikian. Dengan latar belakang patriarki, si suami berharap mendapatkan perlakuan istimewa dari istri, namun kenyataannya, sikap istri tidak sesuai dengan harapan.
Lewat Tepuk Sakinah, mengingatkan kepada calon pengantin bahwa perilaku yang didasari oleh budaya komunal itu tidak harus dijalankan secara kaku. Tugas-tugas di dalam rumah tangga bisa dikerjakan bersama, berdasarkan kesepakatan atau dengan pilar musyawarah.
Kalaupun, nantinya telanjur menjadi masalah, kenyataan itu bukanlah kiamat bagi satu keluarga. Ketika pasangan teringat pada Tepuk Sakinah, yakni pada aspek mitsaqan ghalidzan (janji kokoh), maka masalah-masalah itu tetap bisa dimusyawarahkan, tentu dengan kepala dingin.
Untuk menyelesaikan masalah dengan kepala dingin, maka pasangan suami istri itu bisa kembali berpegang pada pakem Tepuk Sakinah, yakni taradhin (saling rida).
Prinsip berpegang pada janji yang kokoh, bermusyawarah, serta saling ridlo itu tentu memerlukan keterampilan jiwa suami-istri yang harus terus menerus dilatih.
Keterampilan suami istri untuk saling menerima seapa-adanya itu ibarat belajar naik sepeda angin ketika kita masih anak-anak. Keterampilan itu bisa dijalankan lewat praktik kontinu yang bersifat trial and error atau "mencoba dan salah".
Begitulah kita saling belajar, sehingga jiwa menjadi terampil untuk terus saling memahami dan menerima. Kalau dalam konsep Islam, seorang suami yang mengidolakan istrinya seperti Siti Aisyah, maka dirinya harus me-Muhammad, terlebih dahulu. Artinya, hanya perilaku suami yang mendekati sikap Rasulullah Muhammad Saw yang berhak mengharapkan istri "sempurna", layaknya Siti Aisyah.
Sejatinya, belajar berumah tangga itu tidak ada finalnya. Berkeluarga adalah ruang belajar sepanjang hayat.
Karena itu, lewat fasilitator yang telah disiapkan, Kementerian Agama memberikan pembinaan lanjutkan bagi pasangan setelah menikah, seperti Sekolah Relasi Suami-Istri (Serasi), Konsultasi, Mediasi, Pendampingan, Advokasi (Kompak), serta Layanan Bersama Ketahanan Keluarga Indonesia (Lestari).
Semua program itu muaranya adalah menyiapkan keluarga yang kuat dan berkualitas, sehingga melahirkan generasi penerus yang juga kuat dan berkualitas. Apalagi, Indonesia telah menyiapkan visi Generasi Indonesia Emas 2045.
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.