Beijing (ANTARA) - Di Kuil Surga di Beijing, Situs Warisan Dunia UNESCO yang berusia lebih dari 600 tahun, sebuah animasi menampilkan pasukan kehormatan yang berjalan dengan serempak melintasi layar proyektor, gerakan mereka seirama dengan melodi indah dari ritual kuno.
"Melalui tampilan virtual dan digital, peninggalan budaya menjadi 'hidup,' memungkinkan penonton merasakan secara imersif kehidupan orang-orang pada zaman kuno," kata Sun Xiaobing, wakil direktur di Art Exhibitions China.
Dalam beberapa tahun terakhir, China telah memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk memberi kehidupan baru pada peninggalan budaya dan warisannya, memperkaya kehidupan masyarakat sekaligus meningkatkan pengaruh budaya negara tersebut.
Undang-undang perlindungan peninggalan budaya yang baru direvisi, yang disahkan pada Maret lalu, menetapkan bahwa teknologi, informatisasi, digitalisasi, serta tampilan digital harus memainkan peran yang lebih besar dalam perlindungan peninggalan budaya.
Seiring dengan meningkatnya semangat budaya dalam beberapa tahun terakhir, format pameran jauh melampaui tampilan fisik dan pengenalan tertulis, kata Li Li, wakil direktur di Akademi Warisan Budaya China (China Academy of Cultural Heritage).
"Teknologi-teknologi canggih seperti kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI), realitas virtual (virtual reality/VR), dan realitas tertambah (augmented reality/AR) memberikan metode multidimensional untuk pelestarian, pemanfaatan, dan pameran benda-benda peninggalan," kata Li.
Dalam bidang arkeologi, Administrasi Warisan Budaya Nasional (National Cultural Heritage Administration) China mengatakan bahwa pihaknya bertujuan untuk meningkatkan kolaborasi lintas disiplin dan memajukan tingkat teknologi, dengan menekankan analisis genetik, penanggalan presisi, dan sejumlah bidang lainnya.
Raksasa teknologi ByteDance telah bekerja sama dengan Universitas Peking untuk mendigitalisasi buku-buku kuno berbahasa Mandarin dengan AI. Proyek ini dapat mengidentifikasi aksara Mandarin kuno yang ditulis tangan, menambahkan tanda baca modern pada teks kuno untuk membantu pembaca memahaminya dengan lebih baik, serta mengenali dan memahami nama-nama orang, tempat, dan jabatan resmi.
Zhang Zhiguo, selaku wakil direktur di Pusat Arkeologi Nasional (National Centre for Archaeology) China, mengatakan teknologi telah diterapkan secara luas dalam perlindungan warisan budaya bawah laut. Para arkeolog menutupi permukaan beberapa artefak rapuh dengan serat karbon dan resin epoksi untuk memperkuatnya, sehingga artefak-artefak tersebut dapat diambil dari lingkungan bawah air dengan aman.
Lebih lanjut dia mengatakan teknologi spektroskopi yang relevan dapat mendeteksi komposisi senyawa dari karat atau zat yang melekat pada artefak, serta mendeteksi jenis dan kandungan garam di bagian luar maupun dalam benda peninggalan budaya. Semua itu berkontribusi dalam solusi restorasi yang tertarget.
"Teknologi memainkan peran penting di setiap fase pelestarian," kata Zhang.
Dalam kerja sama dengan Akademi Ilmu Pengetahuan China (China Academy of Sciences/CAS), Museum Istana telah mengembangkan peralatan khusus untuk pelestarian peninggalan budaya, yang menggabungkan teknologi seperti pencitraan hiperspektral dan spektroskopi fluoresens sinar-X.
"Dahulu, kami hanya dapat melihat permukaan beberapa peninggalan budaya. Melalui pemindaian sinar-X, kami dapat mengamati struktur internalnya dalam model digital 3D, mempelajari abrasi dan retakannya dengan tepat, dan pada akhirnya lebih memahami proses pembuatannya," kata Qu Liang, direktur Departemen Standar Pelestarian di Museum Istana.
"Kami dapat memperoleh informasi sejarah yang lebih rinci tentang peninggalan budaya melalui berbagai teknologi baru tanpa merusaknya," kata Qu.
"Dulu, pengumpulan buku-buku kuno dilakukan secara manual. Melalui AI, teks kuno didigitalisasi dan isinya dapat diambil serta ditafsirkan ke dalam bahasa Mandarin modern secara efisien," kata Zhang Yu, selaku presiden di Beijing ByteDance Foundation.
"Teknologi seperti AI tidak hanya dapat melindungi buku-buku kuno, tetapi juga membuatnya lebih mudah diakses oleh publik," kata Zhang.
Dalam sebuah forum budaya yang diadakan pada bulan ini di Beijing, Irina Bokova, mantan direktur jenderal UNESCO, mengatakan teknologi membuka cara baru dalam pelestarian, perlindungan, serta pemantauan warisan budaya, dan China muncul sebagai pemimpin yang harus berbagi pengalamannya dengan dunia.
Pewarta: Xinhua
Editor: Santoso
Copyright © ANTARA 2025