Jakarta (ANTARA) - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyampaikan, industri perbankan perlu memetakan lebih jauh sektor-sektor dan debitur-debitur yang dapat terdampak dari ketidakpastian global yang dipengaruhi kebijakan tarif Amerika Serikat (AS), utamanya yang dapat mengalami penurunan kemampuan membayar.
Perbankan juga didorong untuk senantiasa antisipatif dalam memitigasi peningkatan risiko kredit dengan pembentukan cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) yang memadai, serta mengedepankan prinsip kehati-hatian dalam penyaluran dan monitoring kredit.
“OJK juga meminta kepada perbankan agar secara proaktif melakukan asesmen terhadap perkembangan yang terjadi di global maupun domestik dan mempersiapkan langkah-langkah yang dibutuhkan untuk mengantisipasi perkembangan dimaksud,” kata Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae, di Jakarta, Senin.
Selain itu, Dian menambahkan bahwa OJK juga terus berupaya memperkuat fondasi sistem keuangan, salah satunya melalui upaya pendalaman pasar keuangan, guna meningkatkan ketahanan dan efisiensi intermediasi perbankan di tengah gejolak global.
Ia mengatakan, ketidakpastian ekonomi saat ini sangat dipengaruhi oleh tantangan perekonomian global, antara lain kekhawatiran kebijakan tarif oleh Presiden AS Donald Trump yang akan mengganggu rantai pasok (supply chain) barang dan jasa, mendorong kenaikan inflasi global, serta memperlambat laju pertumbuhan ekonomi. Produk-produk utama ekspor Indonesia ke AS juga dikhawatirkan menghadapi tekanan akibat meningkatnya biaya impor.
“Berdasarkan hal tersebut, terdapat peningkatan risiko kredit pada beberapa sektor, utamanya yang terkait produk-produk utama ekspor Indonesia ke AS, antara lain produk tekstil dan alas kaki, mesin-mesin elektronik, produk perikanan dan kelapa sawit,” ujar Dian.
Adapun OJK juga melakukan stress test, baik secara berkala maupun sewaktu-waktu, untuk melihat dampak dari perubahan kondisi ekonomi (termasuk pengaruh penerapan tarif impor AS dan pelemahan nilai tukar rupiah) terhadap perbankan.
Sejauh ini, OJK menilai bahwa rasio permodalan (CAR) perbankan tergolong tinggi di mana pada Februari 2025 berada pada posisi 26,95 persen dan mampu menyerap potensi peningkatan risiko kredit, risiko pasar, dan risiko likuiditas.
Pada Februari 2025, kinerja intermediasi perbankan relatif stabil dengan profil risiko yang terjaga di mana rasio non-performing loan (NPL) gross tercatat 2,22 persen dan NPL net 0,81 persen serta loan at risk (LaR) sebesar 9,77 persen.
Kredit perbankan tetap melanjutkan double digit growth sebesar 10,30 persen year on year (yoy) menjadi Rp7.825 triliun dengan kredit investasi tumbuh tertinggi yaitu sebesar 14,62 persen, diikuti oleh kredit konsumsi 10,31 persen, sedangkan kredit modal kerja tumbuh 7,66 persen.
Ditinjau dari kepemilikan, bank BUMN menjadi pendorong utama pertumbuhan kredit yaitu sebesar 10,93 persen yoy. Berdasarkan kategori debitur, kredit korporasi tumbuh sebesar 15,95 persen, sementara kredit UMKM tumbuh sebesar 2,51 persen.
Menurut Dian, sektor ekonomi pendorong kenaikan kredit secara tahunan meliputi tiga sektor utama antara lain industri pengolahan, transportasi dan pergudangan, serta pertambangan.
“Industri pengolahan utamanya industri minyak goreng dan kelapa sawit mentah, industri kertas, dan industri logam dasar bukan besi, sedangkan pada sektor pertambangan utamanya pada pertambangan logam dan biji timah, serta batu bara dan gambut,” kata Dian pula.
Baca juga: Airlangga: AS apresiasi proposal RI untuk perkuat hubungan ekonomi
Baca juga: Sikapi tarif AS, OJK minta bank menerapkan manajemen risiko yang kuat
Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2025