Swasembada garam di ujung negeri

1 week ago 8
Di tambak-tambak kecil Bima, Dompu, dan Lombok Timur, setiap butir garam putih yang mengilap bukan sekadar kristal asin, melainkan harapan, asa, dan simbol kemampuan bangsa untuk berdiri tegak dengan garamnya sendiri

Mataram (ANTARA) - Di sepanjang garis pantai Bima, Dompu, hingga Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB), hamparan tambak garam mengilap di bawah terik Matahari. Sekilas, pemandangan itu tampak sederhana, bahkan menenangkan, dengan kristal putih yang memantulkan cahaya.

Namun di balik kilauannya tersimpan persoalan lama yang tidak kunjung selesai. Bagaimana negeri dengan garis pantai lebih dari 108 ribu kilometer justru masih bergantung pada impor garam?

Kebutuhan garam nasional terus meningkat setiap tahun. Data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menunjukkan bahwa pada tahun 2025, kebutuhan bahan baku garam nasional diperkirakan mencapai 4,9 juta ton, meningkat sekitar 2,5 persen per tahun.

Tahun 2024 tercatat jumlah yang sama, sedangkan pada 2023 sedikit lebih tinggi, sekitar 5 juta ton, dengan lebih dari 3 juta ton digunakan oleh sektor industri. Bersamaan dengan itu, produksi dalam negeri belum mampu menutupi kebutuhan tersebut secara penuh.

Di tengah paradoks itu, NTB menampilkan asa swasembada yang terus dijaga. Sejak lama, masyarakat pesisir mengenal garam sebagai denyut kehidupan. Mereka menambak dengan cara-cara tradisional yang turun-temurun, seperti tanah dipadatkan, air laut dialirkan ke lahan tambak, dan kemudian dipasrahkan pada panas Matahari yang menjadi “mesin alami” mengeringkan air tersebut hingga terbentuk butiran garam. Dari proses sederhana itu, terbentuk sumber nafkah yang menopang keluarga dan membentuk identitas sosial masyarakat pesisir.

Hanya saja, tantangan tidak berhenti di situ. Perubahan iklim menghadirkan risiko nyata. Musim hujan datang lebih cepat, curah hujan lebih tinggi dari biasanya, dan pola cuaca yang tidak menentu membuat musim produksi sering terpangkas.

Hasil panen menjadi tidak stabil, dan bagi petani tradisional, setiap hari tanpa produksi berarti ancaman terhadap penghasilan keluarga. Tidak jarang, mereka harus menanggung risiko menumpuknya hutang karena harga garam yang fluktuatif di pasar lokal.

Jejak sejarah

Sejak era kolonial, garam telah menjadi komoditas strategis di Indonesia. Belanda membangun sentra produksi di Madura, sementara wilayah lain dibiarkan berkembang seadanya. Warisan itu masih terasa hingga kini. Madura tetap identik dengan garam, meski kebutuhan industri modern terus meningkat dan persaingan global semakin ketat.

NTB, meskipun lebih jarang diperhitungkan, memiliki potensi besar. Faktor alamiah, seperti musim kemarau panjang, intensitas sinar Matahari tinggi, dan garis pantai yang luas menjadi modal kuat untuk produksi garam. Jika dikelola optimal, produksi di Bima dan Dompu dapat mencapai puluhan ribu ton per tahun.

Target pemerintah provinsi NTB pada tahun 2025 adalah 180 ribu ton dari lahan tambak seluas 9.789 hektare. Sebagai perbandingan, produksi NTB pada tahun 2024 tercatat sekitar 150 ribu ton, sedangkan 2023 diperkirakan 140 ribu ton.

Namun kenyataan di lapangan masih jauh dari harapan. Infrastruktur tambak dan pengolahan yang terbatas membuat produktivitas tidak maksimal. Banyak lahan masih dikelola secara tradisional, sehingga hasil panen tidak seragam dan kualitasnya bervariasi.

Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |