Surabaya (ANTARA) - Akhir-akhir ini, ada sejumlah informasi bermunculan di berbagai jejaring media sosial dengan sifat "social comparison" atau dalam istilah psikologi disebut sebagai upaya membandingkan diri sendiri dengan orang lain.
Contohnya, upaya membandingkan Gubernur Jabar dan Jateng dengan Gubernur Jatim dalam soal pembebasan pajak kendaraan. Ada juga upaya membandingkan kondisi ekonomi di Indonesia dengan "negara kecil" Vietnam. Atau, kondisi pendidikan di Indonesia dengan Jepang dan China yang sangat timpang antara teoritis dan keahlian.
Begitulah, warganet di dunia digital ketika menyikapi "banjir" informasi atau bisa juga disebut "banjir" ilmu, namun penyikapan yang dilakukan secara "social comparison" cenderung mengarah pada "framing" yang masuk dalam jebakan digital. Nggak bahaya tah?!
Kendati ada kesan logis, agaknya "social comparison" yang bersifat framing pun perlu dikritisi, karena bisa saja hanya "logis asal-asalan" yang masuk dalam jebakan digital dengan mengoyak "mindset" (pola pikir), padahal salah/tidak logis sama sekali, namun karena diulang-ulang/diviralkan akhirnya menjadi Framing.
Contoh framing yang seolah-olah logis/benar tapi salah yang diulang-ulang/diviralkan adalah framing radikalisasi (hal.36 buku "Kesalehan Digital") yang membenturkan Islam dengan Pancasila ala "logika" HTI, yakni mana yang paling baik antara Islam dan Pancasila? Tentu, kaum milenial yang awam akan menjawab Islam.
Jawaban itu dilanjutkan HTI dengan ajakan untuk memakai Islam dan meninggalkan Pancasila. Jika dikritisi, perbandingan ala "logika" HTI itu salah besar, karena Islam adalah agama dan Pancasila adalah ideologi, sehingga tidak pas membandingkan agama dengan ideologi, karena perbandingan itu harus satu level, yakni agama dengan agama, atau ideologi dengan ideologi. Framing berbahaya kan?!
Nah, belakangan ini pun terjadi "social comparison" yang mirip, tapi bukan ideologis, melainkan politis. Yang menjadi masalah, pola-pola "logis asal-asalan" seperti itu justru viral, sehingga terjadi framing atau pembingkaian/pengemasan hal-hal yang kurang benar secara berulang-ulang hingga akhirnya menjadi seolah-olah benar akibat pengulangan itu.
Contoh "social comparison" dimaksud adalah kebijakan Gubernur Jawa Barat (Jabar), Dedi Mulyadi, untuk menghapus seluruh tunggakan pajak kendaraan bermotor, baik kendaraan roda dua maupun roda empat.
Kebijakan ini berlaku bagi masyarakat yang belum membayarkan kewajiban pajak hingga tahun 2024 ke belakang, tanpa batasan jumlah tahun. Juga, membebaskan tunggakan pajak kendaraan bermotor bagi masyarakat, serta badan usaha yang memiliki atau menguasai kendaraan.
Masyarakat, kata Dedi, diberi kesempatan untuk memperpanjang masa berlaku pajak kendaraannya mulai 20 Maret - 6 Juni 2025. Syaratnya, hanya dengan membayar pajak tahun berjalan tanpa harus melunasi tunggakan sebelumnya.
"Kami Pemerintah Provinsi Jawa Barat mengampuni, memaafkan seluruh tunggakan pembayaran pajak kendaraan bermotornya. Tetapi setelah lebaran mohon diperpanjang," ujar Kang Dedi Mulyadi (KDM) di Bandung (19/3/2025).
KDM mengatakan kebijakan ini sengaja dikeluarkan agar kendaraan yang banyak beroperasi di wilayah Jawa Barat bersedia membayar pajak di Jawa Barat. Pajak kendaraan tersebut akan digunakan untuk perbaikan infrastruktur, termasuk perbaikan jalan.
Masalah Berbeda
Masalahnya, kebijakan KDM di Jabar itu dibenturkan/diperbandingkan oleh warganet/netizen dengan kebijakan pajak kendaraan di provinsi lain (Jatim) yang memiliki kebijakan berbeda karena kondisi/masalah yang berbeda pula.
Jajaran Bappeda Jatim menilai pembebasan pokok utang bagi wajib pajak yang tidak patuh akan mencederai 85 persen wajib pajak patuh yang selama ini berkontribusi bagi pembangunan, sehingga berbasis data yang memenuhi rasa keadilan, atau hanya berbasis akun.
"Selain itu, pembebasan pokok pajak juga dikhawatirkan menimbulkan moral hazard dan preseden buruk bagi wajib pajak patuh untuk meniru untuk tidak membayar pajak dengan harapan juga mendapat penghapusan pokok pajak," kata Kepala Bappeda Jatim M Yasin di Surabaya (14/4/2025).
Data di Bappeda mencatat PAD (Pendapatan Asli Daerah) Jatim itu mencapai Rp16,7 Triliun dan 76,8 persen atau sebesar Rp12,8 Triliun berasal dari Pajak Daerah dengan komposisi 50,5 persen dari Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), sehingga PKB memberi sumbangsih besar dalam pembangunan, yang sebagian besar juga untuk belanja penunjang keselamatan jalan raya, belanja pendidikan dan kesehatan.
Namun, Pemprov Jatim juga bukan tidak punya kebijakan terkait pajak, melainkan bukan kebijakan pembebasan, tapi penghapusan denda dan biaya administrasi bagi Wajib pajak yang memiliki tunggakan dan reward bagi wajib pajak patuh melalui Undian Umroh/Tabungan bagi 50 Wajib Pajak Patuh setiap Tahun, juga kemudahan membayar Pajak dari manapun dan dimanapun melalui Samsat 4.0 dan Samsat BUMDesa di desa.
Artinya, social comparison antarprovinsi dalam soal pajak itu tidak selalu tepat, karena permasalahan setiap daerah/provinsi itu berbeda. Apalagi, soal pembebasan pajak di Jabar juga berujung pada sorotan terhadap mobil Lexus milik KDM yang jatuh tempo pajak pada 19 Januari 2025, namun KDM berjanji membayar tunggakan pajak Rp42,2 juta bila plat nomor mobilnya sudah beralih dari B ke D/Jabar.
Tidak hanya antar-provinsi, namun "social comparison" juga terjadi antar-negara. Ada yang membandingkan Indonesia dengan Australia atau Indonesia dengan Vietnam, padahal penduduk Indonesia itu jauh lebih besar dari kedua negara itu, bahkan kedua negara itu digabung pun masih jauh jumlahnya dengan penduduk Indonesia, tentu masalahnya pun berbeda.
Misalnya, ada warganet yang menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi Vietnam merupakan paling cepat dibanding enam Negara anggota ASEAN, termasuk Indonesia. Pada kuartal III-2015, perekonomian Indonesia hanya tumbuh 4,73 persen, atau meningkat 4,67 persen dibandingkan dengan kuartal II, namun pertumbuhan kuartal III melambat dibanding periode yang sama tahun lalu (year on year/yoy) yang mencapai 5,01 persen, sedang periode tahun ini diprediksi di bawah 5 persen atau sekitar 4,7 - 4,8 persen.
Namun, Indonesia menduduki peringkat kedua sebagai negara tujuan investasi digital di kawasan Asia Tenggara pada 2023. Nilai investasi pada sektor ekonomi digital telah mencapai USD22 miliar, meski tertinggal jauh dari Singapura yang telah menyerap investasi digital USD141 miliar, namun Indonesia telah melampaui Vietnam dan Malaysia yang tercatat masing-masing USD18 miliar dan USD17 miliar.
Singapura menjadi terbesar di kawasan ASEAN, sebab Singapura menjadi hub atau dia yang membagi, namun Google memproyeksikan ekonomi digital di Indonesia pada 2025 bisa mencapai USD146 miliar atau terbesar di Asia Tenggara, sehingga tren peluang usaha di segmen ini semakin menjanjikan di era modern ini.
Sementara itu, soal pendidikan di Indonesia yang terlalu teoritis, bukan keahlian seperti di Jepang atau China. Agaknya, pendidikan di Indonesia sudah ada esktra-kurikuler untuk mengembangkan bakat, minat, dan potensi siswa di berbagai bidang, seperti seni, olahraga, Pramuka, dan lainnya, namun keahlian dalam arti profesi memang masih belum, karena pendidikan ketrampilan yang bersifat keahlian itu tidak murah dan Indonesia juga lebih mementingkan pemerataan.
Jadi, tindakan "social comparison" mungkin saja bersifat naluriah secara psikologis, namun secara teknologis dalam Ilmu Komunikasi perlu disoroti secara Etik (Kode Etik), yakni perbandingan yang kasuistis itu mengharuskan sorotan secara imbang/adil dari pihak yang positif maupun pihak yang negatif, karena kehidupan duniawi itu memang ada dua sisi yakni positif dan negatif. Tidak ada totalitas positif atau totalitas negatif itu.
Baca juga: Radikalisme dan Ateisme Digital selama 2024
Baca juga: Pancasila versus digitalisasi di abad kedua Indonesia 2045
Copyright © ANTARA 2025