Ambon (ANTARA) - Di balik lebatnya hutan dan riuh suara burung di Maluku, ada kisah sunyi tentang satwa liar yang berjuang mempertahankan hidup.
Seekor biawak yang terjerat di kebun warga, burung kakaktua yang nyaris diperjualbelikan, hingga seekor kuskus yang kehilangan induknya—semua menyimpan cerita tentang rapuhnya ruang hidup mereka.
Di tengah ancaman perburuan dan alih fungsi lahan, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) hadir sebagai garda terdepan, mengulurkan tangan bagi satwa-satwa yang terluka, terjebak, bahkan hampir punah.
Lewat operasi penyelamatan yang sering dilakukan secara mendadak, tim BKSDA bergerak dari desa ke desa, pelabuhan ke pelabuhan, bandara ke bandara hanya demi menjemput satwa hasil sitaan maupun penyerahan sukarela warga.
Ada yang harus dibawa ke pusat rehabilitasi untuk pemulihan, ada pula yang langsung dilepas kembali ke alam setelah dinyatakan sehat. Proses translokasi dan pelepasliaran ini bukan sekadar memindahkan satwa, tetapi juga memastikan mereka kembali ke habitat yang aman dan sesuai.
Di balik kerja senyap itu, tersimpan upaya panjang menjaga keseimbangan alam agar generasi mendatang masih bisa melihat satwa-satwa endemik tetap hidup di tanahnya.
BKSDA Maluku kerap menerima laporan warga tentang satwa endemik yang diselundupkan ke pulau luar. Tim selalu bergerak cepat melakukan pengamanan dan translokasi, memastikan satwa-satwa itu kembali ke habitat yang lebih aman. Perjalanan tidak selalu mudah.
Medan yang terjal dan cuaca yang tak menentu menjadi tantangan tersendiri. Namun, semangat untuk melihat satwa kembali bebas di hutan membuat para petugas tidak mengenal lelah.
Burung-burung endemik Maluku, seperti nuri dan kakaktua juga kerap menjadi target perdagangan ilegal karena warna bulunya yang indah. Saat berhasil disita, burung-burung itu seringkali dalam kondisi lemah atau stres. Butuh waktu rehabilitasi sebelum akhirnya dilepasliarkan kembali ke hutan.
“Setiap pelepasan burung itu seperti melihat mereka pulang,” kata Kepala BKSDA Maluku Danny Hendry Pattipeilohy.
Data dan kasus penyelamatan
Perlindungan satwa liar tidak hanya diatur dalam Undang-Undang, tetapi juga lewat aturan internasional seperti Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora(CITES) tahun 1973. Di Indonesia, payung hukumnya adalah Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, serta Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.106 Tahun 2018.
Burung paruh bengkok— seperti nuri dan kakatua— menjadi primadona sekaligus korban dari praktik perdagangan satwa. Keindahan bulu dan kecerdasannya membuat harga burung ini melambung di pasaran, baik secara online maupun offline. Tak heran jika jenis ini menjadi target utama perburuan di Maluku.
Berdasarkan data BKSDA Maluku, per 2022 saja tercatat 769 ekor burung paruh bengkok berhasil diselamatkan. Angka ini menunjukkan tingginya intensitas perdagangan satwa, dengan modus penyelundupan yang makin beragam untuk mengecoh petugas.
Sementara berdasarkan rekapan terakhir pada 2024, BKSDA Maluku berhasil mengamankan sebanyak 3.821 satwa liar dilindungi dari berbagai operasi penyelamatan dan penegakan hukum di wilayah Maluku.
Satwa-satwa yang berhasil diamankan terdiri dari berbagai jenis, seperti burung kakatua, nuri, perkici, beo, dan jenis burung lainnya. Selain itu, reptil endemik Maluku, opsetan dan daging satwa dilindungi.
Dari sebanyak 3.821 satwa, jumlah burung mencapai 538, satwa lainnya 190, tumbuhan sebanyak sembilan dan jumlah bagian satwa 3.084.
“Keberhasilan ini merupakan hasil dari kerja keras tim BKSDA, dukungan masyarakat, dan kolaborasi dengan pihak kepolisian serta lembaga terkait lainnya," ucap Danny.
Satwa-satwa tersebut sebagian besar diamankan dari upaya perdagangan ilegal, perburuan liar, dan penyelamatan langsung dari habitat yang terancam. BKSDA Maluku juga aktif mengedukasi masyarakat tentang pentingnya menjaga satwa endemik Maluku yang menjadi kekayaan alam unik.

Selain itu, sepanjang 2024, BKSDA Maluku telah berhasil melepasliarkan sebanyak 280 satwa yang dinyatakan sehat dan siap kembali ke habitat aslinya dengan rincian burung sebanyak 156 dan reptil 124. Langkah ini diharapkan dapat membantu menjaga keseimbangan ekosistem di Maluku.
Pada 2025, salah satu kasus mencuat di Pelabuhan Hunimua, Liang, Maluku Tengah, ketika upaya penyelundupan berhasil digagalkan lewat operasi gabungan “Operasi Senyap” antara Polisi Kehutanan BKSDA Maluku dan Ditreskrimsus Polda Maluku. Operasi ini menjadi bukti bahwa kerja penyelamatan satwa bukan hanya butuh keberanian, tetapi juga strategi intelijen agar tidak bocor ke pelaku.
Berdasarkan informasi yang diterima, pengangkutan satwa liar ini dilakukan menggunakan kapal feri yang berangkat pukul 06.00 WIT. Menindaklanjuti laporan tersebut, Kepala Resor Waipirit segera berkoordinasi dengan petugas Resor Pulau Pombo untuk melakukan pengawasan di pelabuhan tersebut.
Petugas kemudian membuntuti kendaraan hingga Pos Pelabuhan Laut Tulehu. Setelah dilakukan pemeriksaan, ditemukan empat ekor burung kakaktua Maluku yang disembunyikan di dalam pipa paralon berukuran lima inci dan ditutup dengan tas berwarna oranye.
Sopir yang mengangkut burung-burung tersebut langsung diamankan dan dibawa ke Resor Pulau Ambon untuk dimintai keterangan. Dari hasil penyelidikan awal, diketahui bahwa pelaku sudah berulang kali melakukan pengangkutan satwa dilindungi secara ilegal.
Tak hanya pelaku pengangkut, petugas juga berhasil mengamankan penampung satwa yang berada di Ambon untuk dimintai keterangan lebih lanjut.
Peran dan tugas BKSDA
BKSDA bukan sekadar lembaga yang menerima laporan, tetapi memiliki mandat penting untuk menjaga keseimbangan alam lewat perlindungan satwa liar dan habitatnya. Penyelamatan bisa berupa translokasi, rehabilitasi, hingga edukasi masyarakat. Banyak warga yang awalnya tidak sadar bahwa memelihara satwa liar bisa merusak ekosistem.
Lewat penyuluhan, BKSDA berusaha menanamkan kesadaran bahwa satwa lebih berharga jika hidup di alam bebas. Dalam beberapa kasus, warga akhirnya dengan sukarela menyerahkan satwa peliharaan mereka, mulai dari burung, reptil, hingga mamalia.
BKSDA Maluku menegaskan komitmennya untuk meminimalkan pemanfaatan satwa secara ilegal di provinsi itu. Langkah ini diambil sebagai bagian dari upaya pelestarian satwa liar yang semakin terancam akibat perdagangan ilegal.
Peredaran pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar secara ilegal sebenarnya kejadiannya sudah dari dulu.
"Belum ada solusi tunggal untuk menyelesaikannya, Tetapi kita bisa mengurangi tingkat pemanfaatan secara ilegal itu,” katanya.
Menurutnya, akan selalu ada pemanfaatan secara ilegal ini karena satwa ini selain bisa dimanfaatkan secara komersil, satwa juga merupakan hobi bagi orang sehingga sulit untuk diselesaikan.
“Satwa-satwa ini punya nilai komersilnya yang besar, jadi orang-orang berani. kalau lolos ya lolos, tetapi kalau ditangkap ya bahaya itu karena akan ditindak dan dikenakan saksi,” ujar Kepala BKSDA Maluku, Danny Hendry Pattipeilohy.
Tantangan di lapangan
Namun, menjaga satwa liar bukan perkara mudah. Luasnya wilayah kerja membuat pengawasan tidak seimbang dengan jumlah personel. Anggaran terbatas juga membatasi fasilitas, terutama untuk pusat rehabilitasi satwa yang seringkali penuh sesak.
Selain itu, pola pikir sebagian masyarakat masih menjadi pekerjaan rumah. Satwa dianggap sumber keuntungan, entah untuk dijual, dikonsumsi, atau dijadikan hewan peliharaan. “Selama masih ada permintaan, perdagangan satwa liar akan terus ada,” ujar salah satu pejabat BKSDA.

Perburuan juga sulit dihentikan sepenuhnya. Jerat yang dipasang untuk babi hutan kerap melukai satwa lain yang tidak bersalah. Banyak kasus biawak, kuskus, bahkan burung hutan yang terjebak tanpa sengaja.
BKSDA Maluku berharap masyarakat semakin sadar akan pentingnya menjaga satwa liar dan melaporkan setiap aktivitas yang mencurigakan terkait perburuan atau perdagangan satwa dilindungi. Upaya pelestarian ini menjadi langkah penting dalam menjaga keanekaragaman hayati Maluku untuk generasi mendatang.
Kolaborasi dengan Masyarakat
Di tengah keterbatasan itu, kolaborasi menjadi kunci. Warga desa yang tinggal dekat hutan perlahan dilibatkan sebagai mitra konservasi. Beberapa kelompok masyarakat kini aktif melapor jika menemukan satwa liar yang terancam.
Pada Desember 2024, BKSDA Maluku telah memberikan bantuan senilai Rp40 juta untuk masing-masing kelompok warga yang tinggal di kawasan konservasi.

Pemberian bantuan pemberdayaan masyarakat desa penyangga kawasan taman wisata alam (TWA) Pulau Marsegu itu terdiri atas tiga desa di Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB), yaitu Desa Piru, Eti dan Desa Waesala. Kemudian terbagi dalam tujuh dusun yakni, Dusun Wael, Taman Jaya, Airpesssy, Kotania atas, Kotania Bawah, Pelita Jaya dan Masika Jaya.
Tujuan bantuan ini adalah untuk meningkatkan perekonomian kelompok masyarakat agar mengembangkan diri melalui usaha ekonomi dan dapat meningkatkan perhatiannya pada pelestarian sumber daya alam hayati flora dan fauna.
Polisi Kehutanan (Polhut) BKSDA Maluku Arga Christyan mengatakan, ketergantungan masyarakat dengan kawasan konservasi untuk pemenuhan kebutuhan hidup tidak bisa dipungkiri. Maka dari itu, pemberian bantuan kepada masyarakat menjadi salah satu opsi untuk mengatasi hal tersebut.
“Jadi, bantuan ini diberikan agar masyarakat yang dekat dengan kawasan konservasi tidak selalu bergantung pada pemanfaatan itu, melainkan dapat mandiri pada bidang usaha masing-masing,” katanya.
Pelestarian kawasan konservasi tidak bisa dilakukan tanpa keterlibatan aktif masyarakat setempat.
“Kami ingin masyarakat menjadi mitra dalam pelestarian. Dengan memberikan dukungan berupa bantuan dana dan pelatihan, kami berharap masyarakat dapat menjalankan peran tersebut sambil tetap mendapatkan manfaat ekonomi,” katanya menjelaskan.
Program ini tidak hanya bertujuan untuk menjaga kawasan konservasi dari kerusakan, tetapi juga mengatasi konflik kepentingan yang sering terjadi antara kebutuhan masyarakat dan upaya pelestarian.
Pesan untuk manusia
Setiap satwa yang kembali ke alam bukan hanya menandai keberhasilan sebuah misi penyelamatan, tetapi juga peringatan bagi manusia. Alam yang terjaga adalah penopang kehidupan bersama, dan satwa liar adalah bagian penting dari keseimbangannya.
Di tengah berbagai ancaman, upaya BKSDA adalah secercah harapan agar hutan tetap riuh dengan suara burung, sungai tetap dihuni reptil, dan malam masih ditemani suara kuskus. Menjaga satwa liar sejatinya adalah menjaga diri kita sendiri, karena tanpa mereka, alam akan kehilangan rohnya.
Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.