Jakarta (ANTARA) - Ruang Kebijakan Kesehatan Indonesia (RUKKI) menyebutkan bahwa selain banyaknya varian rasa, kemasan yang menarik, serta promosi yang masif, klaim sejumlah akademisi tentang keamanan vape atau rokok elektronik dibandingkan rokok konvensional juga turut menyesatkan publik.
Ketua RUKKI Mouhamad Bigwanto mengatakan di Jakarta, Selasa, bahwa dalam epidemiologi atau ilmu tentang pola penyebaran penyakit, terdapat sejumlah hal, yakni host, lingkungan, agent atau sebab penyakitnya, serta vektor atau penyebar penyakit. Terkait prevalensi rokok di Indonesia, produk tembakau menjadi agent tersebut, dan vektornya adalah industri rokok.
"Sayangnya, dia punya resources yang luar biasa gitu kan. Dia mampu promosi, mampu bayar akademisi dan sebagainya," kata Bigwanto.
Dia mencontohkan, Center of Excellence for the Acceleration of Harm Reduction (CoEHAR), yang didirikan pada 2018, mendapatkan dana dari Foundation for Smoke-Free World.
Baca juga: Merokok atau vape ketika berpuasa, bagaimana hukumnya?
"Siapa Foundation for Smoke Rewards? Sekarang berubah nama jadi Global Action to End Smoking. Itu donornya adalah Philip Morris. Berapa duitnya? 140 juta. Ada yang bisa bayangin? 1 juta USD itu sekitar 16 miliar," katanya.
Dia mengatakan, jumlah ini jauh lebih besar dari budget Tim Kerja Pengendalian Penyakit Akibat Tembakau (PPAT) yang Rp 300 juta setahunnya.
Kemudian, katanya, CoEHAR membuat pemberitaan yang seolah-olah menggambarkan Kementerian Kesehatan mendukung pengurangan dampak tembakau (tobacco harm reduction/THR).
"Yang lain, yang mengutip Direktur PTM (Penyakit Tidak Menular Siti Nadia Tarmizi), isinya sebenarnya kontra. Tidak setuju rokok elektronik, untuk berhenti merokok, (vape) itu juga berbahaya," katanya.
Contoh lainnya, katanya, pendiri sekaligus Ketua Umum Asosiasi Konsumen Vape Indonesia (AKVINDO) Paido Siahaan yang merupakan aparatur sipil negara (ASN) di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Baca juga: Publik dan pakar soroti konflik kepentingan dalam studi soal vape
"Kemana-mana keliling mewakili AKVINDO, promosi rokok elektronik," katanya.
"Bahkan dia datang di public hearingnya Kemkes, mewakili AKVINDO sebagai ASN di jam kerja. Dan kita nggak heran banyak publikasi BRIN yang mempromosikan rokok elektronik," dia menuturkan.
Contoh lainnya, kata Bigwanto, adalah Yayasan Pemerhati Kesehatan Publik (YPKP), yang melakukan promosi soal rokok elektronik. Dua peneliti YPKP, katanya, yakni Ahmad Syawqie dan Amaliya, merupakan dokter gigi.
"Dokter gigi ngomongin rokok elektronik. Menarik kan? Terus risetnya itu fokus pada gigi dan mulut, yang membuktikan tidak ada efek negatif pada gigi dan mulut. Dia lupa, di tubuh kita tuh ada paru-paru," katanya.
Baca juga: Kemenkes: Rokok elektronik bukan alternatif untuk berhenti merokok
Menurutnya, promosi rokok elektronik oleh sejumlah akademisi perlu menjadi perhatian bersama, karena dampaknya begitu serius terhadap publik. Akibat hal ini, ujarnya, opini publik terhadap vape menjadi positif.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Tim Kerja Pengendalian Penyakit Akibat Tembakau (PPAT) Kemenkes Benget Saragih mengatakan bahwa kandungan rokok konvensional dan vape sama berbahayanya.
"Cairan rokok elektronik mengandung propilen glikol atau gliserin, nikotin, dan penambah rasa," katanya.
"Nah, kalau rokok konvensional kan ada ada tar-nya ya. Tar. Kalau rokok elektronik memang enggak ada tar. Tapi kandungan-kandungan lainnya itu yang berbahaya. Yang seharusnya tidak masuk ke dalam tubuh kita," ujar Benget.
Baca juga: UI ingatkan tentang risiko penggunaan vape dan kesehatan paru
Pewarta: Mecca Yumna Ning Prisie
Editor: Bernadus Tokan
Copyright © ANTARA 2025