Perlu intervensi sensitif turunkan stunting pada sosioekonomi rendah

3 months ago 24
Ibu-ibu yang hamil tidak bisa makan seperti biasa, harus meminum tablet tambah darah selain memakan makanan yang bergizi

Jakarta (ANTARA) - Kementerian Kesehatan mengatakan, kelompok sosioekonomi rendah menyumbang hampir 50 persen dari prevalensi stunting nasional, sehingga perlu dilakukan intervensi sensitif bersama pihak lainnya guna mengatasi dua faktor determinan yang menyumbang risiko stunting.

Dalam temu media daring di Jakarta Kamis, Direktur Jenderal Kesehatan Primer dan Komunitas Maria Endang Sumiwi mengatakan, dua faktor determinan itu yakni status gizi serta infeksi, utamanya diare.

Menurutnya, intervensi sensitif adalah untuk menangani keduanya melalui perluasan akses ke bantuan-bantuan sosial yang dapat mendukung ketahanan pangan serta menurunkan infeksi.

Baca juga: Kemenkes optimis prevalensi stunting turun ke angka 5 persen pada 2045

Adapun menurut Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2024, terdapat sebanyak 4,48 juta balita yang mengalami stunting. Dari jumlah tersebut, sebanyak 1,15 juta atau 26 persen berada di kuintil 1 atau paling miskin, dan 1,034 juta atau 23 persen di kuintil 2, sehingga total 49 persen, dan sisanya dari kalangan sosioekonomi menengah ke atas.

Endang mencontohkan, akses ke bantuan sosial dapat membantu kelompok-kelompok itu memenuhi asupan gizi yang dibutuhkan. Selain itu, program bedah rumah dapat memberikan akses bagi keluarga-keluarga yang membutuhkan ke sanitasi yang baik guna mencegah diare.

"Nah itu nanti yang namanya aksi konvergensi ya. Ini dipimpin oleh Kemendagri untuk konvergensi antarsektor," katanya,

Menurutnya, berbagai skema pemerintah dapat membantu penurunan stunting ini, contohnya dana desa, Program Keluarga Harapan (PKH).

Baca juga: Anggota DPR apresiasi penurunan stunting di berbagai daerah

Dia menjelaskan pentingnya mengatasi kedua faktor determinan tersebut untuk mencegah stunting.

Endang menyebutkan, ibu-ibu yang hamil tidak bisa makan seperti biasa, harus meminum tablet tambah darah selain memakan makanan yang bergizi. Hal ini karena gizi ibu memengaruhi kondisi anak yang dilahirkan.

Adapun untuk asupan gizi balita, katanya, begitu lahir perlu diberikan ASI eksklusif sampai enam bulan, kemudian diberikan makanan pendamping ASI (MPASI). Endang menyebutkan, ASI dilanjutkan sampai anak berusia dua tahun.

Terkait diare, katanya, hal itu membuat permukaan usus menjadi tidak baik, dan daya serap nutrisinya semakin jelek, sehingga terjadilah stunting. Untuk mencegah hal ini, Endang melanjutkan, perlu dilakukan imunisasi yang lengkap agar anak tidak gampang terkena infeksi, menerapkan pola hidup bersih dan sehat, serta memastikan suplai air bersih di rumah tangga.

Baca juga: Prevalensi stunting Jatim terbaik pertama di Pulau Jawa

Dalam kesempatan yang sama, Kepala Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan (BKPK) Asnawi Abdullah menyebutkan, menurunkan prevalensi gizi kurang sebesar satu persen dapat berkontribusi pada penurunan prevalensi stunting sebesar 1,92 persen.

"Begitu juga kita ambil kasus diare. Apabila kita berhasil mencegah prevalensi diare sebesar penurunan prevalensi -diare- satu persen, ini akan berdampak positif pada penurunan prevalensi stunting mencapai 6,7 persen," katanya.

Pewarta: Mecca Yumna Ning Prisie
Editor: M. Tohamaksun
Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
Rakyat news | | | |