Bangkok (ANTARA) - Tidak biasanya ajang pesta olahraga Asia Tenggara diselenggarakan pada cuaca yang lebih lembap, di bawah angin-angin yang membawa wangi hujan di bulan Desember.
Biasanya, keriuhan SEA Games selalu ceria pada suhu hangat pertengahan tahun. Pada waktu-waktu saat matahari terik menyala yang turut merambat ke dalam dada para atlet.
Namun, bagi Tim Indonesia, suhu SEA Games terasa lebih dingin dari udara Desember, karena kontingen berangkat untuk berjuang di tengah duka. Sebuah kenyataan pahit masih menggantung di tanah air: ratusan nyawa hilang, ratusan lainnya belum ditemukan, hampir satu juta orang mengungsi dari rumah mereka sendiri yang luluh diterjang banjir bandang dan longsor.
Dari jauh, tragedi itu seperti suara yang terus mendengung samar, tapi tak berhenti. Sebanyak 921 orang meninggal dunia, 392 orang hilang di Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara. Selain itu, 975.079 jiwa harus memulai ulang hidup dari nol. Angka yang terasa terlalu senyap untuk menggambarkan kekacauan yang sebenarnya.
Dalam situasi seperti ini, kepergian para atlet ke SEA Games 2025 di Thailand tidak pernah seremeh mempersiapkan koper dan sepatu.
Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto tahu persis. Saat berdiri di Istana Negara, sebelum melepas kontingen, dia berkata, “Kita tidak boleh surut. Kita tidak berhenti, tidak bisa menangis, tidak bisa merenung, kita kerja keras di semua bidang."
Ucapan itu menggulung pelan di ruang istana, tiap hurufnya menerpa wajah-wajah muda yang mungkin untuk pertama kalinya memahami bahwa tugas mereka kali ini lebih luas dari sekadar memperebutkan medali.
Baca juga: Prabowo minta atlet SEA Games semangat meski negeri dilanda musibah
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.


















































