Jakarta (ANTARA) - Komite Olimpiade Internasional (IOC) resmi menjatuhkan sanksi kepada Indonesia menyusul penolakan keikutsertaan atlet Israel di Kejuaraan Dunia Senam Artistik 2025 yang digelar di Jakarta.
Buntut dari dijatuhkannya sanksi itu, Indonesia tidak bisa mengajukan bidding tuan rumah kejuaraan atau konferensi di masa mendatang hingga pemerintah Indonesia memberikan jaminan yang memadai kepada IOC bahwa pemerintah Indonesia akan mengizinkan akses bagi semua peserta, tanpa memandang kewarganegaraan.
Selain itu, IOC juga menutup dialog dengan Komite Olimpiade Nasional dan merekomendasikan kepada semua federasi internasional untuk tidak menyelenggarakan ajang atau pertemuan olahraga internasional apa pun di Indonesia.
Dalam lanskap internasional kiwari, ajang olahraga sudah bukan lagi semata urusan prestasi atau urusan kesehatan. Ia juga telah berubah menjadi medan persaingan politik simbolik.
Keputusan IOC yang menjatuhkan sanksi kepada Indonesia menegaskan hal tersebut. Keputusan ini juga memperlihatkan betapa cepatnya arena olahraga dapat berubah menjadi instrumen tekanan politik.
Pada permukaan, aturan IOC tentang non-diskriminasi tampak netral dan universal. Namun, ketika aturan itu diberlakukan selektif atau digunakan sebagai dasar untuk menekan negara tertentu, seperti yang menimpa Indonesia, unsur politik segera mengambang jelas ke permukaan.
Yang perlu dicermati tentu saja bukan hanya isi keputusan IOC, melainkan juga mekanisme bagaimana keputusan itu dibuat dan siapa yang paling diuntungkan. Institusi internasional kerap beroperasi dalam struktur kekuasaan yang tidak imbang, yang mengakibatkan norma kemudian menjadi alat, bukan sekadar pedoman.
IOC menyatakan prinsip universalitas bahwa semua atlet harus memiliki akses tanpa diskriminasi. Namun, ketika prinsip ini bertabrakan dengan kebijakan luar negeri negara tuan rumah -- yang mengklaim alasan keamanan dan kedaulatan -- konfrontasi pun terjadi.
Di sinilah muncul problem terkait apakah norma internasional tentang non-diskriminasi netral terhadap semua kepentingan, atau justru cenderung merefleksikan konsensus aktor global yang lebih dominan.
Problem tersebut setidaknya membuka mata kita untuk melihat IOC bukan hanya sebagai badan olahraga, melainkan telah menjadi aktor politik.
Baca juga: IOC putus dialog dengan Indonesia setelah tolak atlet Israel
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.