Harbolnas: belanja besar, bahagia sebentar

2 hours ago 2

Jakarta (ANTARA) - Hari Belanja Online Nasional atau Harbolnas selalu datang seperti pesta kembang api: gemerlap, gaduh, dan membuat siapa pun merasa sedang mendapat keberuntungan besar. Di balik gegap-gempita diskon, ada pertanyaan yang jarang kita berani tengok. Siapa sebenarnya yang menjadi lebih untung: kita yang merasa “berhemat”, atau mesin raksasa yang pandai memoles keinginan menjadi (seolah) kebutuhan?

Setiap memasuki Desember, layar gawai kita berubah seperti pasar malam digital. Lampu-lampu promo berkedip, suara “cekout sekarang!” menggema, dan rasa penasaran mencicit, seperti anak ayam kelaparan.

Harbolnas datang bukan sekadar sebagai perayaan belanja, tetapi sebagai ritual tahunan yang memadukan rasa ingin punya, rasa takut ketinggalan, dan rasa “siapa tahu butuh”.

Di balik gemerlap itu, ada dinamika psikologis yang diam-diam bekerja. Masyarakat kita hidup dalam tekanan ekonomi yang pelik: harga kebutuhan pokok melesat, tabungan tak sempat tumbuh, sementara tuntutan sosial (dari bekerja, dari keluarga, dari media sosial) tak pernah berhenti menggedor. Dalam kondisi seperti ini, diskon besar tampak seperti jendela oksigen. Sejenak kita merasa diizinkan untuk “memperbaiki hidup” dengan harga separuh.

Pada bagian lain, pemerintah mematok target transaksi Harbolnas hingga Rp35 triliun untuk menopang konsumsi domestik dan penjualan produk lokal, namun belum ada aturan kuat soal transparansi harga, sehingga konsumen sering kesulitan menilai apakah diskon itu sungguhan atau sekadar trik dari angka dasar yang dinaik-turunkan. Sementara suara literasi keuangan yang digaungkan berbagai lembaga, kalah nyaring oleh riuhnya promo besar.

Bagi para pegila belanja, Harbolnas memberi sensasi seolah hidup sedang dibereskan, padahal kita hanya merapikan kecemasan dengan barang baru. Keranjang belanja bukan hanya kumpulan barang, melainkan daftar harapan: wajan baru agar dapur terasa lebih hidup, sepatu baru agar percaya diri naik setingkat, parfum murah meriah agar kita tidak terlihat letih di kantor. Belanja menjadi cara untuk merapikan mood yang acak-acakan.

Tetapi di balik layar pesta diskon itu, ada strategi dagang yang lihai. Harga dinaikkan lalu diturunkan sedikit, bundling yang terlihat murah, padahal membuat kita membeli lebih banyak, ongkir yang “gratis”, tetapi berpindah ke harga barang.

Tidak selalu culas, tetapi jelas bukan amal jariyah. Platform dan brand ingin trafik; konsumen ingin rasa “menang”. Maka terciptalah simbiosis yang aneh: semua orang senang, meski tak semuanya benar-benar untung.

Harbolnas menjadi semacam cermin mental kita sebagai bangsa konsumen: betapa mudahnya kita berlari menuju sesuatu yang terlihat murah, betapa gampangnya merasa kurang. Ia memperlihatkan perbedaan mendasar antara mental “miskin” dan “kaya” — bukan soal saldo, tetapi soal rasa cukup. Pihak yang satu didorong rasa takut kehilangan, yang lain digerakkan keyakinan bahwa apa yang dimiliki sudah lebih dari cukup untuk hidup hari itu.

Ritual ini lucu, sekaligus getir: pesta belanja yang membuat kita seolah lebih punya, padahal sering kali sekadar membuat dompet kita lebih tipis dan hati kembali gelisah, beberapa hari kemudian.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto (tengah), Utusan Khusus Presiden Bidang Pembinaan Generasi Muda dan Pekerja Seni Raffi Ahmad (kiri), Menteri Komunikasi dan Digital Meutya Hafid (kedua kiri), Menteri Perdagangan Budi Santoso (kedua kanan), dan Ketum Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) Hilmi Adrianto (kanan) menekan tombol bersama saat meluncurkan Hari Belanja Online Nasional (Harbolnas) 2025 di Jakarta, Kamis, (4/12/2025). ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/nz (ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/Dhemas Reviyanto)

Dahaga belanja

Harbolnas tidak lagi soal transaksi, tapi tentang cara kita mengobati kekosongan yang tak pernah kita akui. Kita ingin merasa punya kendali atas hidup yang semakin riuh, dan membeli barang sering menjadi tombol cepat untuk menghadirkan ilusi itu. Klik, centang, bayar, tuntas. Seolah sebait hidup dibereskan dalam tiga langkah. Padahal, rasa sesak yang kita simpan tetap tinggal di sudutnya sendiri, hanya tertutup aroma plastik baru.

Di balik antusiasme itu tersimpan sebuah pola lama: kita sering menyamakan kepemilikan dengan kesejahteraan. Barang yang bertambah dianggap tanda hidup yang maju. Padahal banyak di antara kita yang tak sedang meloncat naik, hanya berputar dalam lingkar kecil keinginan.

Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |