Jakarta (ANTARA) - Pemerintah menyepakati berbagai langkah penting untuk menyinkronkan data korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat, sebagai bagian dari pelaksanaan Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2023, dalam rapat di Jakarta, Jumat (18/7).
Deputi Bidang Koordinasi HAM Kementerian Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Ibnu Chuldun mengungkapkan kesepakatan tersebut meliputi pembangunan sistem data terintegrasi, penyusunan pedoman penetapan status korban, serta pemantauan berkelanjutan.
"Langkah ini menegaskan komitmen negara dalam menghadirkan pemulihan yang menyeluruh dan berpihak pada para penyintas," kata Ibnu seperti dikutip dari keterangan tertulis yang dikonfirmasi di Jakarta, Senin.
Ia menggarisbawahi pendekatan administratif dalam pelanggaran HAM berat saja tidak cukup sehingga sinkronisasi data merupakan awal.
Dengan demikian, kata dia, hal yang lebih penting merupakan membangun kepercayaan korban bahwa Negara berpihak kepada mereka.
Menurutnya, pemulihan tidak boleh berhenti pada pengakuan simbolis, tetapi harus diwujudkan melalui layanan nyata yang berkesinambungan.
Baca juga: Komnas HAM masih selidiki peristiwa pelanggaran HAM berat di Aceh
Senada, Staf Ahli Bidang Sumber Daya Manusia dan Transformasi Digital Kemenko Kumham Imipas Supartono mendorong penguatan infrastruktur data sebagai pondasi verifikasi yang kredibel. Ia pun menyampaikan pentingnya pendekatan digital dalam pengelolaan data korban.
"Integrasi data korban tidak bisa dikerjakan secara manual. Kita perlu sistem yang andal, digital, dan aman agar proses ini tidak hanya cepat, tapi juga akurat dan dapat dipertanggungjawabkan lintas generasi," tutur Supartono.
Rapat tersebut mempertemukan perwakilan dari Kemenko Bidang Politik dan Keamanan, Kementerian HAM, Kementerian Luar Negeri, Komisi Nasional HAM, dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), yang dilakukan untuk menyatukan perspektif lintas institusi.
Tujuan rapat, yaitu menyusun strategi pemulihan yang lebih terstruktur, terukur, dan berorientasi pada keadilan bagi korban.
Baca juga: Apa itu pelanggaran HAM berat? Kenali 15 bentuknya
Diskusi semakin tajam ketika masing-masing kementerian dan lembaga memaparkan capaian mereka dalam penghimpunan data korban pelanggaran HAM berat selama lebih dari satu dekade.
Menanggapi hal tersebut, Tenaga Ahli pada Biro Pemenuhan Hak Saksi dan Korban LPSK Syahrial Martanto menekankan pentingnya akuntabilitas dalam setiap proses perlindungan.
"LPSK bekerja berdasarkan permohonan yang diverifikasi dan melalui sidang pleno. Ini penting untuk memastikan bahwa setiap keputusan perlindungan memiliki dasar yang kuat dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum," ucap Syahrial.
Dari sisi Komnas HAM, Atnike Nova Sigiro selaku Koordinator Subkomisi Pemajuan HAM turut menyoroti tantangan dalam proses identifikasi korban, terutama untuk kasus-kasus yang sudah lama terjadi. Dia mengingatkan identifikasi tidak boleh semata-mata didasarkan pada data administratif.
"Identifikasi korban bukan hanya soal nama, melainkan juga narasi mengenai siapa mereka, apa yang terjadi, dan bagaimana kita memastikan bahwa pengalaman mereka diakui oleh negara," ungkap Atnike.
Baca juga: Komisi XIII dukung RUU KKR baru demi selesaikan pelanggaran HAM berat
Meski upaya penghimpunan data sudah berjalan cukup lama, pemerintah juga menggarisbawahi adanya tantangan mendasar yang belum terselesaikan, salah satunya belum adanya pengaturan normatif yang mengikat terkait mekanisme penetapan status korban.
Selain itu, definisi dan klasifikasi korban pelanggaran HAM berat pun dinilai masih berbeda antar lembaga yang berpotensi menghambat proses pemulihan.
Menjawab tantangan tersebut, Pemerintah menyepakati tiga rekomendasi strategis. Pertama, pembangunan sistem pengelolaan data korban pelanggaran HAM berat yang terintegrasi untuk mencegah tumpang tindih dan meningkatkan akurasi lintas lembaga.
Kedua, penyusunan pedoman nasional mengenai penetapan status dan klasifikasi korban sebagai acuan bersama dalam verifikasi dan validasi.
Ketiga, pemantauan berkelanjutan terhadap implementasi pemulihan oleh kementerian/lembaga yang mendapat mandat dari Inpres 2 Tahun 2023.
Rapat juga menyepakati data korban atau ahli waris korban pelanggaran HAM berat masa lalu oleh seluruh kementerian dan lembaga yang hadir.
Kesepakatan tersebut menjadi pijakan awal menuju satu basis data nasional yang kredibel dan inklusif menjadi simbol kehadiran Negara dalam menjawab hak-hak para penyintas secara nyata, berkeadilan, dan bermartabat.
Baca juga: Pemerintah serahkan tali asih untuk korban pelanggaran HAM berat Aceh
Baca juga: LPSK tekankan perlunya pemulihan korban pelanggaran HAM berat
Pewarta: Agatha Olivia Victoria
Editor: Didik Kusbiantoro
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.