Pelajaran tentang perlindungan hukum bagi UMKM di Indonesia

1 hour ago 1

Jakarta (ANTARA) - Duduk di kursi terdakwa pengadilan tidak pernah terbayangkan oleh Firly Norachim, pemilik toko oleh-oleh Mama Khas Banjar.

Ketidaktahuannya tentang aturan pencantuman label tanggal kadaluwarsa pada makanan kemasan menjadi petaka baginya. Bagi aparat penegak hukum, ketidaktahuannya adalah kesalahan yang harus diganjar dengan hukuman.

Beruntung, sebelum vonis dijatuhkan, Menteri UMKM, Maman Abdurrahman, mengajukan diri untuk menjadi amicus curiae atau sahabat pengadilan dan meminta agar Firly Norachim untuk dibebaskan.

Walhasil, setelah kehadirannya sebagai sahabat pengadilan, pada tanggal 19 Mei 2025, Firly Norachim akhirnya dilepaskan dari segala tuntutan.

Awal kasus Mama Khas Banjar bermula dari laporan masyarakat yang menemukan kalau frozen food yang dijual tidak memiliki label tanggal kadaluwarsa.

Dengan dalih tersebut, Kepolisian Kalimantan Selatan mendakwa pemilik toko Mama Khas Banjar melanggar pasal 8 huruf g UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pelanggaran atas Pasal 8 tersebut dikenakan sanksi pidana hukuman penjara selama 5 tahun atau denda sebanyak Rp2 miliar.

Yang menarik, terkait dengan kewajiban pencantuman label pada makanan juga diatur dalam undang-undang lain, UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan.

Dalam UU tersebut salah satu label yang wajib ada dalam pangan kemasan adalah tanggal, bulan dan tahun kadaluwarsa. Namun, pelanggaran terhadap kewajiban tersebut tidak diganjar dengan sanksi pidana. Hanya dikenakan sanksi administratif.

Ada disharmoni. Aturan tumpang tindih dengan aturan lainnya. Antara satu undang-undang dengan undang-undang lain dengan substansi “sama”, tetapi berbeda pemberian sanksi.

Dalam perkara hukum, hal tersebut memang wajar. Sehingga untuk mengatasi aturan yang tumpang tindih tersebut dikenal 3 asas, yaitu lex superior derogat legi inferiori, lex specialis derogat legi generali, dan lex posterior derogat legi priori.

Namun, kewajaran tersebut ternyata memberi pengalaman pahit bagi Mama Khas Banjar. Aparat penegak hukum tidak menerapkan aturan 3 asas tersebut dalam menyikapi kasus Mama Khas Banjar.

Alih-alih melindungi, aturan hukum malah membawa Firly Norachim, pengusaha mikro kecil ke kursi terdakwa.


Perlindungan hukum

Kasus Mama Khas Banjar memperlihatkan kepada khalayak bahwa “si kecil” pengusaha UMK masih terbelenggu oleh ketidakberpihakan iklim usaha dari sisi hukum di negara ini. Saat berhadapan dengan aturan hukum, si kecil seakan tak memiliki perlindungan hukum yang pasti.

Hal yang kontradiktif seharusnya terjadi, mengingat negara ini memiliki aturan khusus mengenai urusan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang sangat lengkap.

Mulai dari UU 20 tahun 2008, juga PP 7 Tahun 2021. Belum lagi aturan-aturan lain yang juga mengatur substansi terkait UMKM.

Dalam aturan-aturan tersebut dijabarkan secara detail dan lengkap mengenai pemberdayaan bagi UMKM. Malah dalam PP 7 tahun 2021, secara tegas diberi judul Kemudahan, Pelindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan UMKM.

Secara nyata seharusnya aturan-aturan tersebut menjadi “rumah” bagi UMKM untuk bertumbuh dan berkembang. Namun sepertinya belum seluruhnya dapat diwujudkan dengan optimal.

Aturan perundang-undangan yang sedemikian lengkap, belum jadi jaminan bagi UMKM berdaya dalam berusaha. Harapan kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan seakan masih menjadi pekerjaan rumah yang besar.

Timbul pertanyaan, mengapa masih terjadi permasalahan-permasalahan yang membelit UMKM?

Pada tahun 2024, Teten Masduki (Menteri KUKM 2019-2024) mengungkapkan permasalahan yang mendasar dan krusial yakni pengkoordinasian kebijakan pemberdayaan UMKM.

Menurutnya, urusan UMKM merupakan lintas sektoral, dimana terdapat sekitar 22 kementerian serta 44 lembaga tingkat pusat, juga pemerintah daerah yang mengurusi UMKM.

Hal itu membuat pelaksanaan kebijakan menjadi begitu mudah tumpang tindih. Masing-masing kementerian/lembaga/pemerintah daerah memiliki program terkait pemberdayaan UMKM sendiri, dan tidak terkoordinir.

Contoh sederhana, kasus yang membelit Mama Khas Banjar. Pemilik mengatakan tidak mengetahui akan kewajiban pencantuman label tanggal kadaluwarsa pada makanan kemasan.

Lalu pertanyaannya, siapa yang merawat si kecil? Instansi mana yang bertanggung jawab atas pengetahuan para pengusaha mikro kecil mengenai kewajiban tersebut, perangkat daerah yang membidangi urusan UMKM, kementerian/lembaga teknis atau Kementerian yang membidangi UMKM?

Banyak instansi yang menangani UMKM tetapi masih ada pengusaha mikro dan kecil yang tersandung kasus karena tidak mengetahui kewajiban dasar.


Arah pemberdayaan

Tahun 2021, TNP2K dan Lembaga Demografi UI melakukan pemetaan program pemberdayaan UMKM. Hasilnya, ditemukan bahwa terdapat 22 kementerian/lembaga melaksanakan program pemberdayaan UMKM yang tersebar melalui 64 program.

Koordinasi pelaksanaan program-program tersebut pun terlihat belum begitu baik. Masing-masing kementerian/lembaga melaksanakan program pemberdayaan UMKM sendiri-sendiri. Merawat si kecil sendiri-sendiri. Tidak seiring sejalan.

Dampaknya, tidak terjadi pergeseran persentase proporsi UMKM selama periode tahun 2010-2019, sebagaimana yang terungkap dari hasil publikasi Pusat Kajian Anggaran Badan Keahlian DPR.

Mengatasi hal tersebut, satu arah pemberdayaan UMKM menjadi keniscayaan. Instansi pemerintah harus memiliki orientasi dan arah yang sama dalam pemberdayaan UMKM.

Secara konkret, Kementerian UMKM harus menjadi leading sector dalam mengemas itu. Kementerian UMKM adalah konduktornya. Dengan begitu “orkestra” pemberdayaan UMKM walau dilaksanakan oleh instansi yang berbeda-beda, tetapi tetap menghasilkan satu output yang sama.

Hal itu adalah konsekuensi logis yang timbul dari pasal 38 UU Nomor 20 Tahun 2008 dan Pasal 94 dan 95 PP 7 Tahun 2021. Pasal-pasal tersebut mengamanatkan untuk Menteri UMKM melaksanakan koordinasi dan pengendalian pemberdayaan UMKM.

Pada Pasal 95 ayat (1) huruf a PP 7 Tahun 2021, menegaskan Menteri UMKM berperan untuk menentukan satu arah pemberdayaan UMKM. Tugasnya menyiapkan, menyusun, menetapkan, dan melaksanakan kebijakan umum secara nasional pemberdayaan UMKM.

Kebijakan umum itu sangat strategis sifatnya. Arah pemberdayaan UMKM jangka pendek, menengah, dan panjang nantinya ditentukan di sini. Serupa seperti yang telah dilakukan oleh Tiongkok melalui kebijakan nasionalnya, China Grand Strategic Goal: “A Leading High-End Manufacturing Superpower”.

Tugas strategis lain Menteri UMKM juga tertuang pada Pasal 95 ayat (1) huruf b, yaitu menyinergikan perencanaan nasional sebagai dasar penyusunan dan strategi pemberdayaan UMKM. Di sini Menteri UMKM dapat membuat koridor perencanaan melalui program pemberdayaan UMKM berdasarkan kebijakan umum yang telah disusun.

Koridor perencanaan akan menjadi dasar kementerian teknis/LPNK pengampu bidang UMKM menyusun kebijakan teknis dan program pemberdayaan UMKM. Dengan begitu program yang disusun dan dijalankan akan mengarah kepada tujuan yang sama sebagaimana kebijakan umum.

Pada akhirnya kebijakan umum secara nasional untuk satu arah pemberdayaan UMKM menjadi jawaban atas pertanyaan siapa merawat si kecil. Melalui itu, akan terpetakan siapa melakukan apa untuk UMKM.

Pelaksanaan program akan lebih terarah serta tidak tumpang tindih. Dan yang diharapkan, akan tercipta koordinasi yang solid antar instansi pemerintah pengampu UMKM untuk merawat si kecil.

*) Penulis adalah Aparatur Negeri Sipil (ASN) pada Kementerian UMKM.

Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |