Semarang (ANTARA) - Pakar hukum Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang Prof Jawade Hafidz menilai perlunya regulasi yang bisa dijadikan dasar hukum mengkaji kembali putusan-putusan pengadilan yang belum berkeadilan di mata publik.
"Satu persoalan yang dihadapi masyarakat, terutama para akademisi yakni masih kuatnya asumsi keputusan pengadilan tidak bisa dikoreksi. Hanya bisa, misalnya melalui kajian-kajian internal," katanya, di Semarang, Rabu.
Hal tersebut disampaikan sejalan dengan dukungan Unissula terhadap pemberian abolisi kepada Thomas Trikasih Lembong dan amnesti kepada Hasto Kristiyanto.
Dengan dinamika putusan pengadilan selama 10 tahun terakhir, ia memandang kedepan memang perlu regulasi sebagai hukum positif yang mengatur tentang perlunya hakim diperiksa oleh Komisi Yudisial atau lembaga baru guna menghindari kesewenangan dalam melayangkan putusan.
"Ini memang menjadi momok. Dan penting ada hukum positifnya, karena kalau tanpa regulasi sebagai hukum positif, rasanya agak sulit untuk memeriksa putusan-putusan pengadilan," katanya.
Ia mengatakan bahwa selama ini Komisi Yudisial (KY) memang sudah memeriksa hakim, tetapi terkait perilakunya, tetapi belum pernah memeriksa putusan hakim yang sudah diketok palu.
"Yang ada selama ini kan adalah KY memeriksa perilaku hakimnya. Tetapi, belum pernah ada KY atau lembaga lain yang memeriksa putusan pengadilan, yang dirasa oleh publik tidak adil," katanya.
Ia menyebutkan salah satu contoh puncak ketidakpuasan atas putusan pengadilan itu adalah pemberian abolisi untuk Tom Lembong dan amnesti kepada Hasto Kristiyanto oleh Presiden.
"Ini sebagai satu penilaian publik bahwa putusan pengadilan itu ternyata juga sangat mungkin keluar dari konteks keadilan. Maka lahirlah amnesti dan abolisi," kata Dekan Fakultas Hukum Unissula itu.
Demikian pula, kata dia, pemeriksaan dilakukan secara menyeluruh terhadap rangkaian putusan yang melibatkan penuntut umum dan penyidik, termasuk dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Artinya, perlu juga ada pengaturan hukum positif untuk memeriksa kembali atau menilai kembali apa yang dilakukan oleh penyidik KPK maupun penuntut umum kejaksaan," katanya.
"Supaya tidak terjadi lagi kriminalisasi penegakan hukum dan tidak lahir lagi putusan pengadilan yang justru tidak adil bagi masyarakat," tambah Jawade.
Senada, Rektor Unissula Prof Gunarto juga berharap para aparat penegak hukum yang menangani kasus Tom Lembong maupun Hasto Kristiyanto juga ikut diperiksa, misalnya hakimnya oleh Komisi Yudisial.
"Ini untuk memperkokoh integritas dan nama baik lembaga. Namun, sebenarnya nama baik lembaga tidak begitu penting. Yang terpenting bagaimana melahirkan keadilan kemanfaatan dan kepastian hukum yang ujungnya bermanfaat bagi kepentingan bangsa," katanya.
Karena itu, Guru Besar FH Unissula itu menyampaikan perlunya langkah pemeriksaan kembali putusan pengadilan terhadap Tom Lembong dan Hasto itu diformulasikan dalam bentuk hukum positif.
"Artinya, nilai ideal ini perlu dikonstitusionalkan dalam hukum positif sehingga pemberian amnesti, abolisi, grasi itu berimplikasi terhadap pencegahan penegakan hukum yang tidak adil dan tidak bermanfaat bagi kepentingan bangsa dan negara," pungkasnya.
Baca juga: Kemenkum atur regulasi AI hingga royalti dalam revisi UU Hak Cipta
Baca juga: Pakar Unej sebut abolisi-amnesti berdampak pada supremasi hukum
Baca juga: Menkum: Tak ada aturan amnesti-abolisi diberikan untuk kasus inkrah
Pewarta: Zuhdiar Laeis
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.