Jakarta (ANTARA) - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyampaikan, industri perbankan perlu untuk membentuk Komite Kecerdasan Artifisial (artificial intelligent/AI) yang memiliki berbagai peran penting termasuk mengawasi desain dan peluncuran tata kelola AI perusahaan.
“Pembentukan Komite Kecerdasan Artifisial melibatkan berbagai fungsi utama (area fungsional utama) di bank seperti hukum, kepatuhan, risiko, data science, keamanan siber, dan layanan nasabah,” kata Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae dalam acara peluncuran Tata Kelola AI Perbankan Indonesia yang dipantau secara daring di Jakarta, Selasa.
Dian mengatakan bahwa Komite AI dapat dibentuk secara tersendiri atau menjadi bagian dari Komite Pengarah Teknologi Informasi (TI) sesuai dengan kompleksitas adopsi kecerdasan artifisial di masing-masing bank.
Kewajiban pembentukan Komite Pengarah TI telah tertuang dalam Pasal 7 Peraturan OJK (POJK) No. 11/POJK.03/2022 tentang Penyelenggaraan Teknologi Informasi oleh Bank Umum.
Dian mengingatkan, tata kelola kecerdasan artifisial memerlukan sistem manajemen risiko yang mampu menjamin sistem tersebut bermanfaat sekaligus mengendalikan risiko yang ditimbulkan. Keandalan, akuntabilitas, dan transparansi merupakan prasyarat mutlak dari sistem yang aman, adil, dan dapat dijelaskan.
Dalam konteks perbankan, peran direksi dan dewan komisaris menjadi sangat strategis dan substansial. Peran ini harus disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, khususnya POJK No. 17 Tahun 2023 tentang Tata Kelola Bank Umum, POJK No. 11 Tahun 2022 tentang Penyelenggaraan Teknologi Informasi oleh Bank Umum, serta peraturan perundang-undangan lain seperti perlindungan data pribadi.
Dian mengatakan, kecerdasan artifisial merupakan kekuatan transformasional dalam teknologi modern yang mencakup kemampuan meniru kecerdasan manusia melalui mesin dan perangkat lunak.
Mengutip laporan Fortune Business Insight pada 2023, ia mencatat bahwa sektor jasa keuangan berada di urutan kedua dari industri yang paling banyak mengadopsi kecerdasan artifisial secara global.
“Memang secara mengejutkan sektor perbankan termasuk salah satu yang paling cepat bertransformasi,” ujar dia.
Meskipun industri perbankan secara historis dikenal sangat mengedepankan prinsip kehati-hatian, pemanfaatan AI dapat dipahami mengingat teknologi ini dapat memperluas customer experience, mendorong efisiensi, meningkatkan kualitas manajemen risiko termasuk untuk tujuan fraud detection, credit risk assessment, dan regulatory compliance.
Dian melanjutkan, laporan yang sama juga mencatat bahwa sekitar 80 persen bank menyadari potensi machine learning sebagai bagian dari kecerdasan artifisial untuk menghemat biaya operasional. Bahkan teknologi generatif kecerdasan artifisial atau generatif AI diproyeksikan dapat memberikan nilai tambah hingga 340 miliar dolar AS secara global.
Di sisi lain, pemanfaatan kecerdasan artifisial oleh industri perbankan juga menghadapi berbagai tantangan yang tidak ringan seperti penyalahgunaan deepfake, kurangnya transparansi algoritma, masalah “black box”, bias dalam pengambilan keputusan, kerentanan terhadap serangan siber, hingga persoalan etika dan kesiapan sumber daya manusia.
Dalam rangka mengatasi berbagai tantangan tersebut, maka OJK menerbitkan buku panduan Tata Kelola Kecerdasan Artifisial Perbankan Indonesia yang menjadi acuan minimum bagi bank dalam mengembangkan dan menerapkan sistem berbasis teknologi, termasuk kecerdasan artifisial tingkat lanjut.
Dian menjelaskan, ini bertujuan untuk memastikan bahwa setiap pemanfaatan kecerdasan artifisial dapat menghasilkan manfaat secara optimal dengan tetap berada dalam koridor manajemen risiko yang efektif dan terkendali.
Buku panduan ini juga menekankan pentingnya pendekatan yang holistik melalui pengelolaan siklus hidup kecerdasan artifisial secara menyeluruh mencakup tahapan sejak inisiasi, perancangan, pembangunan model, pengujian, implementasi, hingga evaluasi dan audit secara berkala guna memastikan bahwa teknologi yang digunakan tetap akuntabel, transparan dan selaras dengan prinsip tata kelola yang baik.
Dian mengatakan, penerapan kecerdasan artifisial memerlukan keterlibatan seluruh aktor dalam siklus hidup teknologi serta alokasi sumber daya yang tepat untuk memastikan bahwa teknologi ini dapat memberikan nilai tambah secara berkelanjutan sejalan dengan regulasi yang berlaku.
OJK pun mengingatkan bahwa daya saing (competitiveness) dan eksistensi perbankan pada masa saat ini dan masa mendatang akan sangat tergantung pada kemampuan bank di dalam menerapkan dan mengelola teknologi yang memerlukan biaya yang sangat besar.
“Oleh karena itu kami mengharapkan agar bank memahami hal ini dengan baik dan melakukan langkah-langkah strategis, tentu saja termasuk untuk terus mempertimbangkan konsolidasi bank dan langkah-langkah lain untuk mendorong daya saing perbankan,” kata Dian.
Baca juga: OJK terbitkan panduan tata kelola AI untuk industri perbankan
Baca juga: OJK minta bank lakukan tata kelola dan manajemen risiko TI termasuk AI
Baca juga: OJK: Penggunaan AI di jasa keuangan perlu diimbangi dengan tata kelola
Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Ahmad Buchori
Copyright © ANTARA 2025