Mewujudkan Lembaga Pengawas Independen sistem merit ASN

4 hours ago 2

Jakarta (ANTARA) - Kita diingatkan kembali saat Presiden ke-7 Republik Indonesia, Joko Widodo memberlakukan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara sebagai pengganti UU ASN sebelumnya pada 31 Oktober 2025. Revisi undang-undang tersebut mengakibatkan perubahan mencolok secara kelembagaan.

Sebelumnya, dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 terdapat empat kelembagaan yang disebutkan secara tegas dalam Manajemen ASN, yaitu Kementerian PAN RB, KASN, LAN, dan BKN. Setelah UU ASN baru, KASN akhirnya dibubarkan.

Memang pembubaran Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) menjadi pertanyaan besar, saat itu, apalagi dilakukan pada suasana yang terasa politis, yaitu menjelang Pemilihan Presiden, Pemilihan Legislatif, hingga pemilihan kepala daerah di Tahun 2024.

Kalau kita telusuri lebih jauh, terjadi sebuah paradoks, di satu sisi ide pembubaran KASN dalam UU Baru adalah inisiatif DPR, di sisi lain dalam perkembangannya pemerintah sebenarnya ingin memperkuat keberadaan KASN.

Padahal, KASN sebenarnya merupakan lembaga yang banyak memberikan sumbangsih terhadap pengawasan netralitas aparatur sipil negara, perwujudan sistem merit, pembinaan profesi ASN, dan lainnya, sebagaimana amanat dari undang-undang. Artinya, publik lantas bertanya: “Apa jangan-jangan KASN bubar karena menuju Pilkada ya?” Sederhananya, jika lembaga pengawasan sistem merit dibubarkan, maka seharusnya yang terjadi adalah masifnya jual beli jabatan dan pelanggaran netralitas (Sofian Effendi, 2023).

Undang-Undang ASN

Salah satu persoalan pasca-revisi dalam UU Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN adalah bahwa dalam pasal 68 disebutkan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama enam bulan terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan. Artinya, peraturan pelaksana dari UU ASN baru, seharusnya sudah terbit sejak April 2024, namun nyata, bahkan hingga saat ini, peraturan pelaksana belum terbit, hingga undang-undang tersebut berlangsung sampai saat ini.

Padahal, peraturan pelaksana dimaksud seharusnya berfungsi sebagai instrumen teknis yang memberikan penjabaran secara komprehensif mengenai tata cara, kriteria, serta mekanisme pengisian jabatan aparatur sipil negara (ASN) yang dapat diisi oleh prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri).

Meskipun demikian, muncul pertanyaan mendasar: atas dasar apa pengisian sejumlah jabatan ASN oleh personel TNI/Polri, saat ini dilakukan, jika peraturan pelaksananya belum ditetapkan?

Kondisi tersebut mencerminkan bahwa mandat UU ASN belum sepenuhnya diimplementasikan dalam jangka waktu yang telah ditentukan. Dengan demikian, terjadi paradoks normatif, regulasi yang seharusnya menjadi fondasi tata kelola pemerintahan yang justru berpotensi bergeser menjadi instrumen pembenaran atas praktik yang tidak berlandaskan pada kepastian hukum.

Dalam UU ASN, kewenangan monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan dan manajemen ASN untuk menjamin perwujudan sistem merit, serta pengawasan terhadap penerapan asas serta kode etik dan kode perilaku ASN tidak lagi dilakukan oleh KASN, namun dipindahkan kepada kewenangan kementerian, sebagaimana yang diatur dalam pasal 26 ayat (2) huruf d.

Pembubaran KASN pada dasarnya merupakan langkah yang kontraproduktif terhadap upaya penguatan tata kelola pemerintahan dan profesionalisme aparatur negara. Keputusan tersebut sulit dibenarkan secara rasional, mengingat KASN telah memberikan kontribusi signifikan terhadap peningkatan berbagai indeks yang berkorelasi langsung dengan kinerja birokrasi, pembangunan ekonomi serta daya saing nasional.

Lebih jauh, jika ditinjau dari perspektif pembentukan peraturan perundang-undangan, proses pembahasan RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN tidak disertai dengan naskah akademik yang memadai. Akibatnya, dasar argumentatif dan analisis empiris yang melandasi keputusan untuk membubarkan KASN tidak dapat diidentifikasi secara jelas, sehingga menimbulkan pertanyaan serius terhadap legitimasi kebijakan tersebut dari sisi metodologi perumusan regulasi berbasis evidence-based policy maupun meaninful participation.

Mengutip pandangan Agus Pramunsinto, keberadaan KASN dalam mengawasi sistem merit sebenarnya adalah langkah yang tepat, karena independensi KASN yang ada di luar kekuasaan eksekutif membuatnya semakin optimal mewujudkan pelaksanaan sistem merit kepada seluruh ASN.

Seharusnya KASN itu diperkuat independensinya, dengan mengalokasikan anggaran serta menambah jumlah SDM untuk mendukung cakupan pengawasan yang dilaksanakan kepada seluruh ASN di Indonesia. Dengan dipindahkannya fungsi pengawasan sistem merit kepada kementerian akan mengakibatkan tidak efektifnya keberlanjutan meritokrasi.

Angin Segar

Beberapa waktu lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan Nomor 121/PUU-XXII/2024 memerintahkan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk membentuk lembaga independen yang memiliki mandat mengawasi penerapan sistem merit serta perilaku ASN dalam jangka waktu paling lama dua tahun sejak putusan diucapkan.

Putusan tersebut merupakan hasil pengujian materiil terhadap UU Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN, yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), dan Indonesia Corruption Watch (ICW).

Permohonan uji materi ini berangkat dari penghapusan kelembagaan KASN dalam UU ASN hasil perubahan tersebut. Melalui regulasi baru ini, fungsi dan kewenangan KASN dialihkan kepada Badan Kepegawaian Negara (BKN) dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB). Perubahan tersebut menimbulkan persoalan normatif dan kelembagaan, karena potensi konflik kepentingan muncul ketika fungsi pengawasan sistem merit berada dalam lembaga yang juga berperan sebagai pelaksana kebijakan kepegawaian.

Dalam pertimbangan hukumnya, MK menegaskan bahwa salah satu akar masalah dalam tata kelola kepegawaian di Indonesia secara historis adalah tingginya potensi intervensi politik dan kepentingan pribadi terhadap ASN. Oleh karena itu, diperlukan pemisahan fungsi yang tegas antara pembuat kebijakan, pelaksana kebijakan, dan pengawas kebijakan untuk mencegah tumpang tindih peran dan menghindari benturan kepentingan.

Berdasarkan analisis konstitusional tersebut, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Pasal 26 ayat (2) huruf d Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum, jaminan kepastian hukum, dan asas kesetaraan dalam penyelenggaraan pemerintahan yang adil. Amar putusan menyatakan bahwa ketentuan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, sepanjang tidak dimaknai bahwa: “pengawasan terhadap penerapan sistem merit, termasuk asas, nilai dasar, kode etik, dan kode perilaku ASN dilakukan oleh suatu lembaga independen.”

Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |