Natuna (ANTARA) - Pagi itu 6 Mei 2025, suasana halaman Perpustakaan Daerah Idrus M Tahar tampak hidup. Puluhan anak berseragam merah putih bermotif kotak berdiri rapi seperti barisan kecil pahlawan. Tapi hari ini, mereka tidak sedang bersiap untuk upacara. Mereka sedang melangkah menuju sesuatu yang lebih besar, yaitu petualangan dalam dunia pengetahuan.
Risa, sang guru dari TK Muslimat NU, Kabupaten Natuna, memberi arahan dengan suara lembut yang penuh keyakinan. “Salami Ibu dan Bapak yang berdiri di sana, ya. Lalu ikuti semua arahan.” Suaranya menuntun seperti kunci yang membuka pintu menuju dunia baru.
Anak-anak itu masuk satu per satu, melewati lorong seperti terowongan waktu, menuju ruang penuh warna dan cerita. Mata mereka berbinar. Jantung perpustakaan berdetak kencang, seakan ikut merasakan antusiasme kecil yang membanjiri setiap sudut ruangan.
Inilah Eduwisata bukan sekadar program belajar di luar kelas, melainkan pengalaman yang membiarkan anak-anak menyentuh dunia lewat halaman buku, suara dongeng, dan aroma lembaran yang membawa ribuan kehidupan.
Diciptakan oleh Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau pada 2023, program ini tak hanya mempertemukan anak dengan buku, tetapi dengan keajaiban.
Pada program ini, ketika sudah memasuki perpustakaan, anak-anak akan menyimak film edukatif yang mengunggah tentang adab dan kebaikan.
Saat film diputar suara gemuruh yang berisi teriakan dan tawa para siswa seketika sirna, fokus beralih ke layar monitor di dinding ruang tengah perpustakaan, namun sesekali suara tawa lirih terdengar kala ada adegan lucu.
Usai menonton, melalui perintah gurunya alas kaki dilepas dan disusun dengan rapi di samping lemari. Mereka melangkah ke ruang baca anak sebuah dunia dalam dunia.
Rak-rak berisi buku cerita berdiri seperti gerbang ajaib. Ada yang langsung duduk dan membaca bersama guru dan petugas pustaka, ada yang bermain sambil tertawa. Tapi semuanya sedang belajar, dengan cara paling alami, lewat rasa ingin tahu.
Erson Gempa Afriandi, Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Natuna, adalah arsitek di balik transformasi ini. Ia dan timnya tak hanya memfasilitasi, namun juga merancang pengalaman. Mereka tahu, literasi bukan soal membacakan kata demi kata. Ia adalah proses menumbuhkan makna dalam jiwa-jiwa muda, agen perubahan negara di masa depan.
Program Eduwisata ini sempat terhenti pada 2024 karena renovasi, namun kembali muncul di 2025 seperti mentari yang tak pernah benar-benar tenggelam. Kini cakupan lebih luas, jika di 2023 hanya untuk siswa menengah, namun kini hingga kelompok bermain. Semuanya diberi ruang untuk bertumbuh, menyerap cerita, lalu membagikan kembali.

Pusling-Cerdas
Sepertinya cahaya, untuk menjangkau lebih banyak anak, Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (Disperpusip) Natuna tak hanya mengandalkan Eduwisata. Mereka memadukannya dengan sebuah program lain yang tak kalah bermakna, yaitu Perpustakaan Keliling Cerita dari Siswa atau yang lebih dikenal sebagai Pusling-Cerdas.
Sebuah mobil sederhana diubah menjadi perpustakaan mini. Di dalamnya, rak-rak mungil dijejali buku cerita berwarna-warni. Mobil ini melaju pelan menembus jalanan kampung, menyusuri sekolah-sekolah yang mungkin belum pernah didatangi pustakawan. Setiap kedatangan Pusling adalah momen yang dinanti, mata anak-anak berbinar seolah dunia penuh warna datang menghampiri mereka.
Di sinilah perjuangan dimulai. Anak-anak dari kelas III SD duduk melingkar, menyimak petugas pustaka yang membacakan kisah. Tapi kegiatan tak berhenti di situ. Mereka diminta berdiri, satu per satu, dan mengisahkan kembali cerita yang baru saja mereka dengar.
Tangan mungil gemetar, suara lirih di awal, tapi ketika teman-temannya mendengar, wajah mereka mulai bersinar. Seolah berkata, aku bisa.
Sasaran program ini adalah agar anak-anak bukan sekadar jadi pendengar, namun juga penjaga cerita. Mereka belajar bahwa kisah bukan hanya untuk dibaca, tapi untuk dihidupkan, dibagikan, dan diwariskan.
Sementara itu, bagi siswa yang lebih besar dari kelas IV SD hingga tingkat menengah tugas mereka lebih menantang. Mereka memilih sendiri buku yang disukai, membacanya, lalu menceritakan kembali isinya di hadapan teman-teman. Yang berani tampil mendapat sagu hati. Mungkin hanya sebuah pena, stiker, atau buku tulis. Namun sesungguhnya, yang mereka bawa pulang jauh lebih berharga yaitu keberanian, percaya diri, dan imajinasi yang tak lagi mengenal batas.
Itulah mimpi yang diperjuangkan oleh Disperpusip Natuna. Di tengah keterbatasan anggaran dan jauhnya jangkauan, mereka tetap bergerak. Karena mereka percaya, setiap anak berhak mendengar dan menyuarakan cerita di mana pun mereka tinggal.
Karena di ujung negeri ini, di dalam dada kecil para pendongeng cilik itu, harapan tak pernah padam. Dan di balik mobil perpustakaan yang sederhana itu, ada semangat besar yang terus menyala menumbuhkan literasi, satu cerita dalam satu langkah kecil yang penuh makna.
Tak berhenti di sana, gerakan literasi ini diperluas oleh jembatan yang menakjubkan yaitu kerja sama dengan Ikatan Pemuda dan Mahasiswa (IPM) Natuna, anak-anak pulau yang sedang belajar di luar daerah. Mereka mengirimkan karya ilmiah mereka, berupa skripsi, tesis, hingga disertasi, ini merupakan sebuah persembahan intelektual untuk kampung halaman. Ongkos kirim ditanggung oleh Pemerintah Kabupaten. Karena mereka tahu, setiap lembar pengetahuan yang dikirim, adalah benih masa depan yang ditanam kembali.
Warga Natuna Nunung Rozalina menilai upaya yang dilakukan oleh Disperpusip Natuna merupakan langkah memperbaiki sumber daya manusia (SDM), untuk mengapai Indonesia Emas 2045.
Hingga 2025, 30 karya telah menjadi bagian dari koleksi Perpustakaan Idrus M Tahar. Setiap buku bukan hanya referensi, tapi surat cinta dari anak-anak rantau kepada tanah kelahirannya. Dalam sunyi rak buku itu, ada suara Kami Pulang Lewat Ilmu.
Program ini tidak megah dari porsi anggaran, tapi dampaknya bisa merubah masa depan wilayah perbatasan, Disperpusip percaya Efisiensi bukan hambatan, ia justru tantangan bagaimana semua bisa tetap bergerak, meski dengan sumber daya yang terbatas, mereka sudah lama belajar dari keterbatasan untuk melahirkan kreativitas.
Dan begitulah, di ujung negeri ini, huruf-huruf hidup. Buku-buku berbicara. Anak-anak berani bermimpi. Bukan dengan sorak sorai, bukan dalam sorotan kamera. Tapi dalam kesunyian yang menakjubkan. Dalam gerakan sunyi yang perlahan menyalakan cahaya dari rak buku, hingga ke hati.
Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2025