Bondowoso (ANTARA) - Dua ekor monyet sedang berdialog dengan topik mengenai pisang, makanan kesukaan satwa tersebut.
"Monyet, minta tolong, bolehkah aku diambilkan pisang itu?" kata monyet satu ke monyet lainnya.
"Terima kasih ya. Maaf, aku telah merepotkan kamu," katanya melanjutkan, setelah mendapat pisang yang dimintanya.
Adegan dialog dua monyet itu diperankan oleh Evy Yulistiowati, salah satu pendongeng dari Komunitas Gerakan Mendongeng untuk Anak (Gendongan) Kabupaten Bondowoso, ketika mengisi kegiatan untuk anak-anak panti asuhan di Desa Tanggulangin, Kecamatan Tegalampel, Bondowoso, Jawa Timur, Minggu (27/4) pagi.
Kak Evy, begitu ia biasa dipanggil dalam komunitas tersebut, sedang menyampaikan pesan mengenai pentingnya menjaga sikap yang harus dipraktikkan anak dalam keseharian.
Ketiga sikap yang hendaknya dimiliki dan dipraktikkan oleh seorang anak itu adalah kebiasaan untuk "meminta tolong", "meminta maaf", dan mengucapkan "terima kasih".
Kak Evy bersama sejumlah pendongeng lainnya, yakni Kak Holidi, Kak Yogi, Kak Ita, dan Kak Dian, bergantian membawakan cerita dongeng yang berisi pesan mengenai perilaku keseharian yang hendaknya dilakukan oleh anak-anak. Berbagai permainan, seperti bernyanyi dan gerak bersama, kuis berhadiah buku, menciptakan suasana yang ceria dan penuh gelak tawa juga dihadirkan dalam kegiatan Minggu pagi itu.
Kegiatan itu berlangsung dengan santai dengan penuh keakraban, apalagi dilaksanakan di areal terbuka yang di sekelilingnya banyak pohon rindang. Mereka duduk di tengah hutan jati dan hanya beralaskan terpal berwarna biru.
Selain mengingatkan mengenai pentingnya tiga sikap ketika berhubungan dengan orang lain, Kak Evy juga mengajak belasan anak-anak di Panti Asuhan Yarhima itu untuk mengenali kelebihan dan kekurangan diri.
Pengenalan kelebihan dan kekurangan diri itu dimulai dari aspek fisik, misalnya dengan mengajak satu per satu anak untuk menyadari anggota tubuh di bagian muka, termasuk tinggi badan. Misalnya ada anak yang kurang menyadari bahwa bentuk hidungnya mancung, atau warna kulitnya yang gelap sebagai sebagai kekurangan.
Jika selama ini anak-anak menganggap bahwa kulit berwarna gelap sebagai kekurangan, bisa disadarkan bahwa sebetulnya, fakta itu justru merupakan kelebihan. Kak Evy mengemukakan hasil penelitian kesehatan bahwa orang dengan kulit gelap itu lebih tahap terhadap kemungkinan paparan kanker kulit.
Selain itu, ada beberapa anak yang tidak menyadari bahwa bentuk mata atau alis dan bulu matanya merupakan kelebihan yang tidak dimiliki oleh orang lain. Beberapa anak tampak malu untuk mengungkapkan kelebihan dirinya secara fisik tersebut.
"Tidak apa-apa kalau saat ini tidak menemukan bukti kelebihan dirinya secara fisik, tapi nanti bisa dipraktikkan di luar kegiatan ini untuk lebih mengenali kelebihan dirinya dari segi sikap dan pemikiran atau sifat-sifat," kata Kak Evy, yang harus berbagi waktu untuk menyampaikan materi cerita dengan pendongeng lainnya.
Sementara itu, Kak Holidi, menyampaikan cerita sejarah mengenai salah satu sahabat Nabi Muhammad, yakni Khalid bin Walid yang dikenal sebagai panglima perang terkemuka. Sambil mendongeng Kak Holidi juga menunjukkan cerita bergambar mengenai perjuangan sabahat Rasulullah tersebut. Anak-anak sangat antusias mengikuti jalannya cerita.
Giliran Kak Ita yang membahas tema buku yang dibagikan gratis melalui Yayasan Pekarangan institute, yaitu mengenal masa akil balig bagi remaja putra dan putri. Tujuan dari pembahasan ini agar anak-anak belajar mengenal dan melindungi anggota tubuhnya, termasuk menutup aurat dan pergaulan dengan lawan jenis. Ini memberikan wawasan bagi anak-anak praremaja yang mulai mengalami perubahan fisik dan jiwa dari masa kanak-kanak menuju remaja.
Sesi ini ditutup dengan bernyanyi bersama, dengan iringan lagu sesuai tema, yaitu "Disentuh Boleh, Disentuh Tidak Boleh". Isi lagu ini mengajarkan pada anak-anak untuk tidak mengizinkan orang lain menyentuh tubuhnya dengan sembarangan. Lagu ini merupakan upaya pembelajaran pada anak untuk melindungi dan menyayangi tubuhnya sejak dini.
Ketua Yayasan Panti Asuhan Yarhima, Suyitno, mengemukakan bahwa kegiatan mendongeng dan penguatan literasi ini sangat membantu anak-anak yang menjadi asuhannya untuk mengikuti aktivitas mingguan dengan lebih positif.
Meskipun merupakan panti asuhan, tidak semua anak-anak asuh itu berada dalam satu asrama. Anak-anak yatim itu ada yang tetap berkumpul dengan keluarganya, dan setiap ada kegiatan yayasan, mereka dikumpulkan untuk diberi motivasi dengan kegiatan yang bermakna edukasi.
Setiap pekan, anak-anak yatim itu dikumpulkan di satu tempat yang lokasinya luas dengan mengikuti kegiatan edukasi, seperti belajar bercocok tanam, beternak, membaca buku dan lainnya.
Dengan kegiatan edukasi, termasuk mengikuti acara mendongeng, setidaknya mereka telah mengurangi waktunya untuk bermain gawai. Meskipun mereka tidak memiliki gawai sendiri, kalau di hari libur tidak ada kegiatan di panti asuhan, biasanya waktunya dihabiskan dengan bermain gawai menggunakan milik keluarga terdekatnya.
Sementara itu, Komunitas Gendongan yang diinisiasi dan dibina oleh Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Daerah Pemerintah Kabupaten Bondowoso ini berusaha untuk menghidupkan kembali budaya mendongeng di kalangan masyarakat. Mendongeng adalah sarana untuk merekatkan hubungan secara emosi antara anak dengan orang tua.
Hadirnya perangkat telepon seluler pintar yang menawarkan berbagai fitur dan fasilitas serba canggih telah melenakan para orang tua, sehingga tidak jarang "menyerahkan" pengasuhan anaknya kepada sarana komunikasi canggih itu. Akibatnya, ikatan kejiwaan anak dengan orang menjadi kurang, sehingga hal itu menyebabkan perkembangan kejiwaan anak menjadi kurang maksimal.
Untuk itu, anggota komunitas ini berkeliling ke sejumlah lembaga pendidikan usia dini, termasuk ke panti asuhan, untuk membawakan cerita dongeng kepada anak-anak. Selain itu, komunitas ini juga memberikan pelatihan mendongeng untuk kaum perempuan di desa-desa, khususnya istri kepala desa dan guru PAUD atau TK.
Anggota komunitas ini mengajarkan cara mendongeng kepada kaum ibu, yang kemudian, pengetahuan itu dipraktikkan ketika para guru ke kembali ke lembaga pendidikan atau istri kepala desa menularkan ilmunya kepada masyarakat lain.
Dari sisi ruang dan waktu, apa yang dilakukan oleh komunitas dengan beranggotakan aktivis yang peduli pada penyiapan mental bagus bagi generasi mendatang ini, tentu hanya terbatas untuk masyarakat Bondowoso.

Meskipun demikian, semangat anggota komunitas ini melintasi ruang dan waktu, tidak hanya di kabupaten yang dikenal sebagai penghasil tapai dan kopi terkenal itu. Mereka juga memberi pesan bagi masyarakat lain di negeri ini untuk menghidupkan kembali budaya mendongeng kepada anak-anak.
Mereka seolah berpesan, kepada para orang tua, termasuk kaum bapak, untuk meluangkan waktu mendongeng kepada anak-anaknya. Nilai-nilai moral dari ibu kepada anak akan tersampaikan lebih efektif dan mengena dengan metode bercerita, terutama apabila hal itu disampaikan sebagai pengantar tidur bagi anak.
Baca juga: Menekan defisit akhlak melalui tradisi bertutur
Baca juga: Hari Dongeng Nasional 28 November, tradisi yang harus dilestarikan
Editor: Dadan Ramdani
Copyright © ANTARA 2025