Jakarta (ANTARA) - Dalam kehidupan sehari-hari, kita mungkin pernah bertemu dengan seseorang yang terkesan selalu ingin terlihat lebih unggul, baik melalui cerita-cerita tentang pencapaian pribadinya, cara memberi komentar yang terkesan meremehkan atau sikapnya yang enggan menerima pendapat orang lain.
Pada pandangan pertama, mereka mungkin terlihat percaya diri, namun bisa jadi ada hal yang lebih dalam dari sekadar kepercayaan diri. Fenomena ini sering kali disalahartikan sebagai kebiasaan sombong, padahal mungkin ini adalah tanda dari superiority complex, sebuah kondisi psikologis yang sering tidak disadari oleh penderitanya.
Apa itu Superiority Complex?
Dilansir dari laman webmd.com, Superiority complex pertama kali diperkenalkan oleh Alfred Adler, seorang psikolog awal, dalam teori psikologi individunya. Adler mendefinisikan superiority complex sebagai reaksi terhadap perasaan inferioritas yang mendalam.
Menurut teori ini, setiap orang berusaha mengatasi rasa inferioritasnya. Beberapa orang merespons dengan bekerja keras untuk menguasai keterampilan dan meraih pencapaian. Namun, orang dengan perasaan inferioritas yang kuat sering merasa tidak cukup berhasil meskipun sudah mencapai banyak hal. Untuk mengimbanginya, mereka cenderung melebih-lebihkan pencapaian dan pendapat mereka untuk merasa lebih baik.
Beberapa psikolog berpendapat bahwa orang dengan superiority complex mungkin tidak sedang menyembunyikan harga diri yang rendah secara sadar. Sebaliknya, mereka benar-benar meyakini bahwa mereka lebih sukses daripada orang lain, meskipun tidak ada bukti yang mendukung keyakinan tersebut. Ini berbeda dengan rasa percaya diri, karena mereka tidak memiliki pencapaian nyata yang mendasari keyakinan tersebut.
Saat ini, tidak ada diagnosis resmi dalam dunia kesehatan mental yang disebut "superiority complex". Namun, konsep ini tetap digunakan untuk menjelaskan mengapa beberapa orang cenderung melebih-lebihkan pencapaian dan kesuksesan mereka.
Apa yang menyebabkan superiority complex?
Penyebab pasti dari superiority complex belum sepenuhnya dipahami, namun berbagai situasi atau kejadian dapat menjadi akar masalahnya. Konsep superiority complex, yang pertama kali diperkenalkan oleh Alfred Adler, umumnya dikaitkan dengan dua faktor utama: pola asuh di masa kecil dan kondisi kesehatan mental.
1. Pola asuh di masa kecil
Anak-anak yang dimanjakan terlalu berlebihan sering kali tidak diberi kesempatan untuk mengembangkan kemampuan dan rasa percaya diri. Ketika mereka berinteraksi dengan orang lain yang lebih mampu, mereka merasa inferior dan mengembangkan superiority complex untuk menutupi perasaan tersebut.
2. Kondisi kesehatan mental
Seseorang yang menghadapi masalah kesehatan mental, seperti kecemasan atau depresi, mungkin merasa inferior dan mencoba mengimbangi perasaan tersebut dengan membesarkan diri mereka. Ini dapat menyebabkan mereka menunjukkan perilaku yang terkesan lebih unggul dari orang lain sebagai cara untuk melindungi harga diri mereka.
Tanda-tanda seseorang memiliki superiority complex
Berikut adalah beberapa tanda yang menunjukkan seseorang mungkin memiliki superiority complex:
- Pernyataan sombong yang sulit dibuktikan
- Memiliki pandangan yang sangat tinggi tentang diri sendiri
- Terlalu memperhatikan penampilan
- Menilai diri dengan harga diri yang sangat tinggi
- Tidak mau mendengarkan pendapat orang lain
- Memiliki citra diri yang berwenang atau superior
- Perubahan suasana hati yang buruk, terutama jika ada kontradiksi dari orang lain
- Overkompensasi untuk kekurangan diri
Dampak superiority complex
Superiority complex dapat mempengaruhi berbagai aspek kehidupan seseorang. Berikut adalah beberapa dampak yang bisa ditimbulkan:
- Harga diri yang rendah: Meskipun seseorang tampil percaya diri, secara internal mereka mungkin terfokus pada kekurangan diri dan merasa kurang berharga. Untuk menutupi perasaan ini, mereka cenderung memproyeksikan citra diri yang lebih unggul.
- Kesulitan dalam hubungan: Orang dengan superiority complex sering kali kesulitan menjalin hubungan yang sehat, kecuali dengan orang yang memiliki rasa tidak aman yang sama.
- Masalah karier: Seseorang dengan superiority complex mungkin berpura-pura memiliki kemampuan atau kualifikasi tertentu di tempat kerja. Namun, di dalam hati mereka menyadari ketidakmampuan tersebut, yang menyebabkan kecemasan berlebihan.
Superiority complex adalah fenomena yang sering kali disalahartikan sebagai kepercayaan diri yang sehat. Menyadari perbedaan antara keduanya penting untuk menjaga hubungan yang sehat dan karier yang sukses.
Baca juga: "Social Comparison" versus Framing di Era Digital
Baca juga: Makna dibalik memimpikan seseorang yang telah meninggal
Baca juga: Sering dibahas di medsos, apa itu "reverse psychology:?
Pewarta: Allisa Luthfia
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2025