Menelusuri jejak budaya komunitas Tionghoa di Kampung Kapitan

2 months ago 19

Palembang (ANTARA) - Di tepian Sungai Musi yang membelah Kota Palembang, Sumatra Selatan, berdiri sebuah kawasan bersejarah yang merekam jejak panjang komunitas Tionghoa, yaitu Kampung Kapitan.

Lebih dari sekadar permukiman tua, kampung ini adalah saksi hidup perjalanan budaya, kepercayaan, dan kehidupan sosial orang-orang Tionghoa yang telah menetap sejak abad ke-17.

Di sinilah nilai-nilai leluhur dan tradisi China berpadu dengan kearifan lokal Palembang, menciptakan harmoni yang unik dan mampu bertahan dari generasi ke generasi.

Dari rumah-rumah kayu bergaya arsitektur khas, altar sembahyang, hingga tradisi yang tetap terjaga, Kampung Kapitan menjadi bukti nyata akulturasi budaya yang tumbuh di tepi Sungai Musi.

Komunitas Tionghoa sebenarnya telah hadir di Palembang sejak abad ke-7 hingga masa Kesultanan Palembang Darussalam pada abad ke-17. Namun, gelombang kedatangan mereka meningkat secara signifikan pada masa kolonial Belanda tahun 1823.

Mayoritas berasal dari wilayah selatan China, seperti Fujian dan Guangdong, dengan latar belakang sebagai pedagang dan perantau yang mencari peluang ekonomi di Indonesia.

Para pendatang asal China ini menetap di kawasan Pecinan yang strategis di sekitar Sungai Musi, yang merupakan urat nadi perdagangan dan transportasi air Palembang. Salah satu kawasan yang kemudian berkembang menjadi pusat komunitas Tionghoa adalah daerah 7 Ulu, yang kelak dikenal sebagai Kampung Kapitan.

Berawal dari aktivitas perdagangan dan kerajinan, mereka secara perlahan membentuk komunitas yang solid. Seiring waktu, lahirlah struktur sosial, budaya, dan ekonomi yang khas. Keberadaan komunitas ini tidak hanya memperkaya budaya Palembang, tetapi juga berperan penting dalam perputaran ekonomi kota kala itu.

Destinasi wisata Kampung Kapitan di Kota Palembang, Sumatera Selatan. ANTARA/Xinhua

Sementara itu, rumah batu difungsikan sebagai ruang pertemuan dan pusat kegiatan keagamaan komunitas. Di dalamnya, terdapat sebuah altar San Tai, altar sembahyang tiga tingkat yang langka dan berasal langsung dari China, yang menjadi pusat ritual sembahyang utama. Menariknya, perayaan di Kampung Kapitan tidak hanya menggambarkan tradisi Tionghoa, tetapi juga mencerminkan akulturasi dengan budaya lokal.

Sebagai bentuk pengakuan dan pengaturan oleh kolonial Belanda, dibentuklah jabatan kapitan Tionghoa, yang berasal dari katakapitein dalam bahasa Belanda, sebuah posisi resmi yang diberikan kepada tokoh dari etnis Tionghoa untuk memimpin dan mengatur komunitasnya.

Jabatan ini bukan hanya simbol kehormatan, melainkan juga berfungsi sebagai jembatan antara pemerintah kolonial dan masyarakat Tionghoa.

Kapitan sendiri bertugas memimpin dan mengatur komunitas Tionghoa, menghubungkan komunitas dengan pemerintah kolonial, mengelola administrasi kependudukan, memungut pajak dan retribusi, menegakkan hukum dan ketertiban dalam komunitas, mewakili komunitas dalam acara resmi, serta mengelola fasilitas dan tempat ibadah komunitas.

Pada masa kolonial, Belanda mengangkat perwira Tionghoa dengan pangkat mayor untuk mengatur kawasan 7 Ulu, yang dikenal dengan sebutan Mayor Tumenggung dan Mayor Putih.

Jabatan ini kemudian diwariskan secara turun-temurun hingga akhirnya dipegang oleh Tjoa Kie Tjuan pada tahun 1830. Setelahnya, putranya, Tjoa Ham Ling, melanjutkan tongkat estafet dengan diangkat menjadi kapitan Tionghoa pada tahun 1855.

Namun, secara resmi dan tertulis dia ditunjuk sebagaiKapitan der Chineezen lewat Beslit Nomor 572 pada 13 Oktober 1871 yang memimpin hingga awal abad ke-20, sekitar tahun 1920-an, dan tercatat sebagai kapitan terakhir yang memimpin komunitas Tionghoa pada masa itu.


Destinasi wisata Kampung Kapitan di Kota Palembang, Sumatera Selatan. ANTARA/Xinhua

Sementara itu, rumah batu difungsikan sebagai ruang pertemuan dan pusat kegiatan keagamaan komunitas. Di dalamnya, terdapat sebuah altar San Tai, altar sembahyang tiga tingkat yang langka dan berasal langsung dari China, yang menjadi pusat ritual sembahyang utama.

Kawasan Pecinan yang menjadi tempat tinggal keluarga kapitan ini dikenal dengan nama Kampung Kapitan. Dahulu, wilayah ini merupakan pusat aktivitas sosial, budaya, dan ekonomi komunitas Tionghoa di Palembang.

Area perumahan kuno yang dibangun pada tahun 1644 itu memiliki luas sekitar 165,9 meter x 85,6 meter, dan terletak di tengah pemukiman padat di tepi Sungai Musi di Kelurahan 7 Ulu, Kecamatan Seberang Ulu 1, yang lokasinya tepat berseberangan dengan Benteng Kuto Besak.

Awal mula berdirinya Kampung Kapitan berkaitan dengan periode setelah runtuhnya Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-13, serta munculnya pengaruh Dinasti Ming pada abad ke-14.

Pada masa itu, Kekaisaran China membentuk lembaga dagang yang salah satunya berpusat di Palembang, sehingga banyak pedagang Tionghoa pun menetap dan menikah dengan perempuan lokal Palembang.

Salah satu kepala kantor dagang China yang terkenal pada masa itu adalah Liang Taow Ming, yang berperan penting dalam mengembangkan jaringan perdagangan dan komunitas Tionghoa di wilayah ini.

Awalnya, Kampung Kapitan terdiri atas beberapa bangunan. Namun, kini yang tersisa hanyalah dua bangunan rumah yang telah berdiri selama lebih dari 400 tahun, yakni rumah kayu tua atau rumah dewa dan rumah batu.

Kedua rumah itu berbentuk panggung limas dari material kayu tembesu dan ulin khas Palembang yang dipadukan dengan gaya arsitektur kolonial Belanda. Selain itu, masing-masing rumah tersebut memiliki luas sekitar 24 x 50 meter, yang dilengkapi 4 kamar besar dan dua kamar kecil.

Dahulu, rumah tua utama tersebut digunakan sebagai pusat kegiatan pemerintahan sekaligus tempat bermalam bagi tamu dari luar kota yang enggan melanjutkan pelayaran. Sementara itu, rumah kedua difungsikan sebagai ruang pertemuan bagi keluarga besar kapitan.

Saat ini, fungsi dari kedua rumah utama yang masih berdiri kokoh itu tak lagi sama, namun tetap saling melengkapi.

Rumah dewa yang bernuansa merah sekarang dipakai sebagai ruang ibadah pribadi keluarga kapitan. Di sinilah tradisi doa dan penghormatan kepada leluhur dilakukan secara lebih intim, sebagai bagian dari warisan spiritual yang dijaga secara turun-temurun.

Di dalam rumah dewa, terdapat patung-patung Toa Pe Kong Sie, berbagai sajian untuk sembahyang atau persembahanpai-pai, simbol matahari di pintu utama, serta berbagai potret dan barang-barang milik keluarga kapitan.

Destinasi wisata Kampung Kapitan di Kota Palembang, Sumatera Selatan. ANTARA/Xinhua

Suryanto (79), menantu keluarga Tjoa yang juga aktif dalam pelestarian budaya Kampung Kapitan, menambahkan informasi menarik tentang keberadaan altar ini. Menurutnya, altar ini sangat langka dan bernilai sejarah tinggi. Hanya ada dua altar semacam ini di Indonesia, satu di Palembang dan satu lagi di Semarang.

"Altar ini digunakan dalam ritual sembahyang kepada leluhur dan para dewa, tempat meletakkan dupa, lilin, dan persembahan. Kami selalu menjaga altar ini dengan sangat hati-hati sebagai warisan budaya yang tidak ternilai," jelas Suryanto.

Sampai saat ini, keturunan keluarga kapitan generasi ke-14 dan 15 masih menetap di kawasan ini.

Tradisi dan Perayaan Komunitas Tionghoa di Kampung Kapitan

Komunitas Tionghoa di Kampung Kapitan masih aktif menjalankan berbagai tradisi yang diwariskan secara turun-temurun. Perayaan penting seperti Tahun Baru Imlek dan Cap Go Meh dirayakan dengan penuh semangat, diiringi sembahyang leluhur, pemasangan dekorasi khas, serta pertunjukan barongsai.

Tradisi Sanjo, atau saling berkunjung saat Imlek, masih dijalankan sebagai bentuk penghormatan antarkeluarga. Selain itu, Cheng Beng atau sembahyang kubur juga menjadi momen penting untuk berziarah ke makam leluhur, termasuk para kapitan terdahulu.

Destinasi wisata Kampung Kapitan di Kota Palembang, Sumatera Selatan. ANTARA/Xinhua

Menariknya, perayaan di Kampung Kapitan tidak hanya menggambarkan tradisi Tionghoa, tetapi juga mencerminkan akulturasi dengan budaya lokal. Upaya pelestarian tidak hanya difokuskan pada aspek fisik bangunan, tetapi juga pada nilai-nilai budaya yang hidup di dalamnya. Beragam kegiatan seperti festival budaya, pertunjukan barongsai, serta acara edukasi untuk pelajar dan wisatawan terus digelar di Kampung Kapitan.

Salah satu contohnya adalah tradisi Sedekah Kampung yang digelar usai Hari Raya Idul Fitri, di mana warga Tionghoa dan Muslim berkumpul untuk berdoa dan makan bersama. Hidangan seperti nasi kuning dan kari kambing disiapkan secara gotong royong, memperlihatkan eratnya hubungan antaretnis yang telah terjalin sejak lama.

Semua ini menjadikan Kampung Kapitan tidak hanya sebagai kawasan bersejarah, tetapi juga sebagai simbol harmoni budaya yang hidup hingga kini.

Saat ini, Kampung Kapitan diakui sebagai salah satu kawasan warisan budaya terpenting di Kota Palembang. Sejak ditetapkan sebagai situs cagar budaya pada tahun 2011, kawasan ini mendapat perhatian dari pemerintah kota yang terus berupaya melestarikannya.

Namun, upaya pelestarian belum berjalan secara menyeluruh karena berbagai tantangan, seperti keterbatasan dana dan kerentanan bangunan tua ini terhadap kerusakan akibat faktor alam serta ancaman modernisasi. Beberapa bangunan bersejarah yang memiliki nilai tinggi memerlukan perawatan yang lebih maksimal agar tetap terjaga kelestariannya.

Oleh karenanya, pemerintah kota mendorong kerja sama yang sinergis antara pemilik bangunan, investor, dan pihak swasta, agar proses pemeliharaan dan pengelolaan Kampung Kapitan dapat berjalan secara berkelanjutan dan profesional sehingga kawasan ini tidak hanya terjaga secara fisik, tetapi juga dapat terus menjadi pusat budaya yang hidup dan dikenal luas.

Kampung Kapitan di Palembang, Sumatera Utara. ANTARA/Xinhua

Upaya pelestarian tidak hanya difokuskan pada aspek fisik bangunan, tetapi juga pada nilai-nilai budaya yang hidup di dalamnya. Beragam kegiatan seperti festival budaya, pertunjukan barongsai, serta acara edukasi untuk pelajar dan wisatawan terus digelar di Kampung Kapitan.

Tradisi leluhur tetap dijaga melalui sembahyang rutin, perayaan hari besar, dan pengenalan sejarah komunitas kepada generasi muda. Semua ini menjadi bagian dari upaya kolektif untuk menjaga kawasan ini tetap relevan dan bermakna di tengah perubahan zaman.

Kampung Kapitan bukan sekadar peninggalan masa lalu, melainkan ruang yang mencerminkan perpaduan sejarah, budaya, serta nilai toleransi. Kawasan ini merekam jejak panjang kehidupan komunitas Tionghoa di Palembang dari masa kolonial hingga saat ini.

Dengan statusnya sebagai cagar budaya dan adanya dukungan pelestarian yang terus berkembang, kawasan ini memiliki potensi besar untuk menjadi pusat pembelajaran sejarah multikultural di Palembang.

Meski berbagai tantangan masih dihadapi, komitmen untuk mempertahankan identitas Kampung Kapitan menjadikannya simbol penting keberagaman yang patut dijaga untuk generasi yang akan datang.

Pewarta: Xinhua
Editor: Santoso
Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |