Pekanbaru (ANTARA) - Mengembalikan peran paru-paru hijau di jantung Riau, tempat Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) berdiri, bak puisi alam yang dilantunkan narasi drama tragedi penuh ketegangan.
Hutan yang mestinya menjadi rumah bagi gajah sumatera itu kini memikul luka akibat perambahan, pembakaran, dan alih fungsi lahan. Di balik hijau yang meranggas, terselip kisah ribuan keluarga yang hidup di atas tanah sengketa yang secara hukum bukan milik mereka.
Persoalan hukum bertaut dengan perut rakyat, dan di sanalah dilema negara menemukan wujudnya.
Permasalahan bak labirin, jalan keluar ada, namun rumit, tentu ada visi yang dicapai, adalah tidak ada yang dipinggirkan namun keadilan tetaplah paling tegak. Mencari jalan keluar tersebut pemerintah provinsi, TNI, Polri, kementerian, dan para pemangku kepentingan berkumpul. Rapat koordinasi dipimpin Gubernur Riau Abdul Wahid dengan satu tujuan: mempercepat pemulihan ekosistem TNTN.
“Pemulihan Tesso Nilo adalah pekerjaan bersama. Ia menyangkut kelestarian lingkungan, kesejahteraan masyarakat, sekaligus keamanan wilayah,” kata Marsma TNI Abdul Haris, Komandan Lanud Roesmin Nurjadin, mengingatkan dengan lantang. Kalimat itu melayang di ruang rapat seperti janji, bahwa hukum, politik, dan kemanusiaan harus berjalan seiring.
Secara hukum, masalah Tesso Nilo sederhana: kawasan konservasi seluas 81.980 hektare dilindungi undang-undang. Setiap aktivitas alih fungsi tanpa izin adalah pelanggaran. Pasal-pasal dalam UU No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam menegaskan larangan merambah dan menguasai hutan negara.
Namun realitas tidak sesederhana teks hukum. Sekitar 5.700 kepala keluarga sudah teridentifikasi bermukim di dalam kawasan. Angka itu bisa membengkak menjadi 7.000 KK. Mereka bukan korporasi besar, melainkan petani kecil dengan dua hingga lima hektare kebun sawit, yang menanam bukan untuk menumpuk laba, melainkan agar dapur tetap berasap.
Di sinilah hukum bertemu paradoksnya. Jika ditegakkan secara kaku, rakyat kecil yang jadi korban. Jika diabaikan, negara kehilangan wibawanya. Hukum seolah berada di persimpangan: antara melindungi hutan atau melindungi manusia yang menggantungkan hidup pada hutan itu.
Jembatan politik
Gubernur Riau Abdul Wahid menegaskan bahwa pemulihan TNTN tidak bisa dilakukan dengan pendekatan represif semata. “Inventarisasi penduduk di dalam kawasan, penentuan lahan relokasi yang bersih dan legal, serta skema mata pencaharian warga menjadi prioritas,” ujarnya.
Pernyataan itu sejatinya adalah bahasa politik yang mencoba mengikat hukum dengan realitas sosial. Pemerintah tidak bisa mengusir begitu saja ribuan warga tanpa memberikan kepastian lahan pengganti. Sebab, konstitusi—Pasal 28H UUD 1945—menjamin hak setiap orang atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, sekaligus hak atas penghidupan yang layak.
Politik hadir untuk menjembatani dua hak itu: hak lingkungan dan hak ekonomi rakyat. Maka, keterlibatan 12 kementerian bukan sekadar formalitas, melainkan keharusan agar solusi tidak berhenti di meja rapat.
Di tengah keruwetan hukum dan tarik menarik kepentingan politik, secercah harapan muncul. Mayjen TNI Dody Triwinarto, Dansatgas Penertiban Kawasan Hutan, melaporkan bahwa 7.150 hektare lahan telah direforestasi. Bukan dengan paksaan, melainkan lewat sukarela masyarakat yang menyerahkan lahan kepada negara.
“Ini bukti partisipasi warga adalah kunci. Tanpa dukungan mereka, pemulihan hutan hanya jadi wacana,” katanya.
Fakta ini penting. Ia menunjukkan bahwa ketika negara hadir dengan pendekatan dialogis, rakyat pun bersedia melepas. Bahwa hukum bisa ditegakkan tanpa harus menumpahkan air mata. Bahwa kesadaran sosial bisa tumbuh jika politik berpihak dan hukum memberi jalan yang adil.
Risiko yang mengintai
Namun jalan masih panjang. Moral hazard bisa muncul bila proses relokasi tidak transparan. Ada kemungkinan lahan pengganti justru dikuasai oleh segelintir elite, sementara petani kecil tersisih.
Sejarah konflik agraria di Indonesia mengajarkan betapa seringnya solusi hukum berubah menjadi masalah baru akibat lemahnya pengawasan.
Selain itu, ada ancaman politik elektoral. TNTN bisa menjadi komoditas politik, dijadikan panggung pencitraan tanpa penyelesaian nyata. Di sinilah pentingnya akuntabilitas hukum: memastikan setiap keputusan berbasis aturan, terukur, dan diawasi lembaga independen.
Persoalan Tesso Nilo tidak bisa diurai dengan satu pendekatan. Ia menuntut sintesis antara hukum yang tegas, politik yang bijak, dan partisipasi masyarakat.
Berdasarkan asas legalitas, setiap langkah, mulai dari relokasi hingga reforestasi, harus jelas dasar hukumnya. UU Kehutanan, UU Konservasi, dan regulasi agraria harus dipakai sebagai pijakan, bukan sekadar jargon.
Dengan pendekatan soosial-ekonomi, relokasi warga harus disertai program mata pencaharian berkelanjutan. Tanpa itu, mereka bisa kembali merambah. Model agroforestry atau pemberdayaan ekonomi hijau dapat menjadi jalan tengah.
Lewat transparansi politik, pemerintah harus membuka data seluas-luasnya: siapa yang direlokasi, di mana lahan pengganti, siapa yang berhak. Mekanisme ini harus diawasi DPRD, akademisi, hingga organisasi masyarakat sipil.
Penegakan hukum berkeadilan juga harus hadir. Korporasi besar yang terbukti merambah harus ditindak lebih keras dibanding petani kecil. Negara tidak boleh tajam ke bawah, tumpul ke atas.
Tesso Nilo bukan sekadar soal hutan. Ia adalah cermin bagaimana hukum dan politik Indonesia bekerja dalam menghadapi konflik agraria. Di sana ada gajah yang kehilangan rumah, ada rakyat yang mencari hidup, ada negara yang diuji konsistensinya.
Ketika 7.150 hektare lahan kembali ke negara, itu bukan hanya angka, melainkan simbol harapan. Bahwa pemulihan mungkin dilakukan, bahwa hukum bisa bersahabat dengan rakyat, bahwa politik bisa berpihak pada keberlanjutan.
Namun harapan itu rapuh. Ia bisa tumbang jika komitmen tidak dijaga. Maka, tugas semua pihak adalah memastikan janji yang diucapkan di Balai Serindit, Pekanbaru, Riau tidak berhenti sebagai kata-kata.
Sebab pada akhirnya, Tesso Nilo bukan hanya milik Riau, melainkan milik bangsa, dan warisan untuk generasi yang belum lahir.
Editor: Sapto Heru Purnomojoyo
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.