Menag ingatkan pendekatan ekoteologi dalam kebijakan lingkungan

3 hours ago 3

Jakarta (ANTARA) - Menteri Agama Nasaruddin Umar mengingatkan pentingnya pendekatan ekoteologi, atau ilmu tentang hubungan antara agama dan alam atau lingkungan hidup, yakni dalam kebijakan lingkungan.

Menurut Menag, pendekatan ekoteologi diperlukan sebab bumi dan alam semesta merupakan ciptaan Tuhan yang bersifat sakral, serta tidak boleh diperlakukan sebagai objek eksploitasi tanpa batas.

“Alam bukan sekadar sumber daya, melainkan amanah ilahi yang wajib dijaga keberlanjutannya. Kerusakan hutan, pencemaran air, dan konflik lahan bukanlah ‘biaya pembangunan’, tetapi tanda terganggunya relasi manusia dengan amanah Tuhan,” ujar Menag dalam seminar nasional bertajuk “Taubat Ekologis: Refleksi Kebijakan Tata Kelola SDA” yang digelar di Jakarta, Rabu.

Lebih lanjut dia mengatakan merusak satu bagian bumi berarti mengguncang keseluruhan ekosistem, termasuk kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada alam.

Oleh sebab itu, dia kembali mengingatkan dengan mengatakan bahwa tobat ekologis tidak boleh berhenti pada retorika moral.

“Tobat ekologis harus menjadi paket kerja yang bisa diawasi publik, yakni mulai dari audit izin dan konsesi, pemulihan daerah aliran sungai, rehabilitasi hutan, pembenahan tata ruang berbasis risiko bencana, hingga penegakan hukum yang menyasar pelaku dan rantai keuntungan,” katanya.

Sementara itu, Ketua Umum Dewan Pengurus Nasional Gerbang Tani Idham Arsyad selaku yang menggelar seminar, mengatakan tema tobat ekologis dipilih karena berasal dari refleksi panjang atas dampak bencana yang tidak sesaat.

“Salah satu rekan saya yang terlibat langsung dalam rehabilitasi dan rekonstruksi pascatsunami Aceh memandang bahwa dampak bencana di Sumatera membutuhkan waktu hingga 30 tahun untuk pulih. Hulu dan hilirnya sama-sama terhantam. Situasi inilah yang mendorong kami mengangkat tema tobat ekologis,” ujar Idham.

Menurut dia, tobat ekologis tidak semata dimaknai sebagai simbol keagamaan, tetapi kesadaran kolektif untuk memperbaiki relasi manusia dengan alam.

“Dalam perspektif Islam dan agama-agama lain, relasi manusia dan alam seharusnya bersifat rahmatan lil alamin, bukan eksploitatif. Krisis ekologi hari ini menuntut kerja sama lintas sektor, yakni tokoh agama, akademisi, NGO (organisasi nonpemerintah, red.), hingga pembuat kebijakan. Tugas ini berat dan tidak bisa dijalankan sendiri-sendiri,” katanya.

Baca juga: Menko PM ingatkan mahasiswa KKN belajar dari alam dan masyarakat

Baca juga: Baznas tunggu arahan Presiden buka donasi internasional untuk bencana

Pewarta: Rio Feisal
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |