Palu (ANTARA) - Mardiyah dengan penuh semangat berdiri di depan sekelompok orang yang duduk melingkar di tengah halaman sebuah penginapan berkonsep eco-green di Kota Palu. Sesekali perempuan itu terlihat berbicara, sesekali juga ia menulis di papan tulis putih berupa angka-angka.
Di halaman yang diteduhi pepohonan itu, Mardiyah sedang memimpin sebuah kegiatan edukasi yang tak biasa, yakni tentang dasar-dasar mengelola keuangan.
Para peserta yang mayoritas generasi muda terlihat menyimak dengan serius materi yang disampaikan Mardiyah. Kemudian mereka sibuk dengan kertas dan pena di tangan; Mereka menulis dan menghitung.

Kegiatan ini adalah satu dari bentuk kegiatan edukasi yang dilakukan Mardiyah, atau yang akrab disapa Itje, dalam usahanya untuk melakukan literasi keuangan di daerah, khususnya di Provinsi Sulawesi Tengah.
Meskipun terbuka untuk siapapun, Mardiyah mengaku lebih fokus memberikan edukasi kepada kaum perempuan.
“Karena mengajar satu perempuan, artinya mengajar satu generasi,” katanya.
Perempuan kelahiran Kota Palu, Provinsi Sulawesi Tengah ini percaya bahwa jika seorang perempuan diberi pengetahuan atau pendidikan yang baik, mereka tidak hanya akan mengubah hidupnya sendiri, tetapi juga akan mempengaruhi orang-orang di sekitarnya, terutama keluarganya.
"Karena sering kali perempuan merupakan pengelola keuangan rumah tangga, dan pendidik utama bagi anak-anak, apa yang mereka pelajari dan terapkan akan ditularkan kepada generasi berikutnya. Perempuan memiliki peran penting dalam kehidupan keluarga dan masyarakat, serta memiliki kemampuan untuk membawa perubahan besar," katanya.
Edukasi Literasi Keuangan
Indonesia adalah negara yang sangat luas dan terdiri dari ribuan pulau, sehingga banyak daerah yang masih sulit dijangkau oleh layanan keuangan formal.
Dengan tantangan kondisi geografis Indonesia, masyarakat di wilayah pelosok sering kali masih tertinggal dalam hal literasi keuangan. Ketidaktahuan tentang cara mengelola uang, investasi, atau memanfaatkan layanan keuangan membuat masyarakat di daerah pelosok sering kali menghadapi kesulitan ekonomi.
Berdasarkan data dari Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) Otoritas Jasa Keuangan (OJK), angka literasi keuangan Indonesia pada tahun 2022 adalah 49,68 persen dan inklusi keuangan adalah 84,75 persen. Sementara itu, berdasarkan data BPS tahun 2022, Provinsi Sulawesi Tengah pernah masuk dalam 10 provinsi termiskin di Indonesia.
Melihat kondisi ini, Mardiyah melepas jabatan terakhirnya sebagai Manager sebuah lembaga keuangan di Jakarta, sebuah posisi prestisius dengan segala fasilitasnya, untuk mengabdikan dirinya memberikan edukasi literasi keuangan hingga ke wilayah pelosok atau 3T (Tertinggal, Terdepan dan Terluar).
Terinspirasi dari sosok Almarhumah Ibunya yang seorang guru, Mardiyah bercita-cita ingin menjadi sosok bermanfaat dengan berbagi pengetahuan kepada banyak orang. Ia bertekad untuk berkontribusi positif kepada masyarakat dan negara, baik dari sisi sosial, ekonomi dan lingkungan.
Mardiyah pun memilih untuk meninggalkan kehidupan kota besar dan karir gemilangnya di dunia perbankan untuk kembali ke tanah kelahirannya di Provinsi Sulawesi Tengah dan memberikan edukasi, khususnya dalam bidang keuangan hingga ke wilayah pelosok.
Di tahun 2021, Mardiyah membentuk komunitas Hannah Asa Indonesia, yang diberi nama “Hannah” yang merupakan nama sang Ibu, dan memfokuskan dirinya sebagai pegiat ekonomi kesetiakawanan.
Dimulai dengan membentuk sebuah komunitas yang terdiri dari para pemuda daerah dengan fokus bergerak di bidang edukasi, karena ia percaya bahwa edukasi bisa memutus mata rantai kemiskinan.
Dengan visi misi untuk membekali masyarakat kemampuan di bidang keuangan agar mampu mengelola keuangan dan merencanakan masa depan, Mardiyah pun merancang program-program yang dapat menjangkau masyarakat luas.
Dengan pemahaman yang mendalam tentang keuangan, ia mulai mengadakan pelatihan-pelatihan sederhana yang mengajarkan dasar-dasar perencanaan keuangan.
Ia mengedukasi generasi muda, nelayan hingga kelompok perempuan tentang pentingnya manajemen keuangan, dari cara menabung yang sederhana, menabung dana pensiun, mengelola usaha kecil dengan bijak, hingga mengelola hasil pertanian atau perikanan untuk membangun kemandirian masyarakat.
”Ketika mengajar, ada satu hal yang selalu saya sampaikan kepada ibu-ibu di pelosok. Apa sih tujuan kita belajar literasi keuangan? Salah satu tujuannya agar mereka bisa menyimpan uang, dan anak-anak bisa sekolah. Karena kalau bukan kita yang memberikan motivasi, siapa lagi?" katanya.
Sampai tahun 2024, komunitas ini telah mengajarkan literasi keuangan kepada 5.221 orang di Sulawesi Tengah. Untuk secara masif melakukan edukasi, penerapan kolaborasi pentahelix (lima elemen) dilakukan dengan menggandeng pemerintah, dunia usaha, masyarakat, akademisi dan media.
Kepala Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Sulteng Bonny Hardi Putra menilai komunitas Hannah Asa Indonesia telah melakukan edukasi literasi keuangan, yang dapat menjangkau hingga ke wilayah pelosok.
Menurut dia, upaya ini sangat patut diapresiasi karena semakin banyak masyarakat yang melek akan pentingnya literasi keuangan. Kolaborasi OJK dengan Hannah ini akan terus dipertahankan agar perekonomian masyarakat dapat tumbuh positif melalui literasi keuangan.
Tantangan
Mengajarkan edukasi keuangan di daerah hingga ke pelosok tentulah bukan hal mudah. Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi Mardiyah adalah sulitnya untuk menjangkau daerah-daerah karena akses infrastruktur yang masih terbatas.
Bepergian ke daerah pelosok, tidak jarang harus menempuh perjalanan berjam-jam lamanya. Karena akses yang belum memadai, perjalanan ke beberapa lokasi terkadang harus menggunakan motor trail, sebagai satu-satunya transportasi yang bisa digunakan untuk sampai ke daerah pegunungan yang dikelilingi jurang dan tebing, serta harus menghadapi resiko yang cukup tinggi.
Sementara untuk tiba di daerah-daerah pelosok kepulauan Sulawesi Tengah, harus menempuh perjalanan dengan menggunakan kapal kecil.
Sejak tahun 2021, Mardiyah telah berkeliling ke delapan daerah dari 13 kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Tengah, yakni Kota Palu, Kabupaten Donggala, Sigi, Poso, Banggai, Banggai Kepulauan, Morowali Utara, dan Parigi Moutong.
Tantangan berat pun dihadapi Mardiyah, seperti saat mengajar di wilayah Lembah Bada, Kabupaten Poso. Meski akses jalan yang sulit dan belum tersentuh jaringan internet, tidak menyurutkan semangat Mardiyah bersama komunitas perempuan di daerah ini demi tujuan meningkatkan ketahanan keluarga dan kemandirian masyarakat di daerah ini.
Di Lembah Bada, Mardiyah berusaha menjembatani para pengrajin kain kulit kayu, yang merupakan kain tradisional Sulteng, dengan pelukis dari Bali. Kain kulit kayu ini kemudian digunakan sebagai kanvas lukis sehingga akan semakin meningkatkan nilai kain kulit kayu.
Medan yang berat juga harus ditempuh Mardiyah di Kabupaten Sigi, ketika ia mengajar kelompok wanita tani tentang cara menghitung harga pokok produksi agar mereka dapat mengelola usaha secara efektif dan efisien.
Perjalanan terjauh Mardiyah adalah saat mengajar literasi keuangan di Suku Batin Sembilan di Provinsi Jambi. Suku Batin Sembilan merupakan masyarakat adat yang beraktivitas di dalam hutan pedalaman antara Provinsi Sumatera Selatan dan Jambi.
Selain dari akses yang terbatas ini, salah satu tantangan lainnya adalah keterbatasan sumber daya manusia. Tidak cukup banyak individu yang memiliki keterampilan untuk menjadi pengajar atau fasilitator dalam pendidikan keuangan.
Oleh karena itu, pemberdayaan masyarakat setempat untuk menjadi agen perubahan sangatlah penting, tetapi hal ini juga membutuhkan waktu dan upaya yang ekstra.
Berbekal alasan ini juga, Hannah Asa Indonesia melaksanakan boothcamp atau pelatihan edukasi keuangan dengan berkeliling daerah Sulteng dengan menyasar berbagai kalangan masyarakat tanpa dipungut biaya apapun.
Setiap kali pelatihan dibuka, peserta bisa mencapai 200 orang. mulai dari pelajar hingga ibu rumah tangga.
“Salah satunya, kami membuka boothcamp yang pesertanya adalah mahasiswa atau anak-anak muda yang ada di Kota Palu yang asalnya dari desa. Mereka kami berikan pelatihan ilmu dasar keuangan, dan setelah belajar ini, mereka tugasnya adalah kembali ke desa untuk membagikan ilmu yang didapatkannya. Kami menyebutnya EduFinance Warrior. Kami akan selalu tracking perkembangannya sehingga itu adalah salah satu alasan literasi keuangan bisa masif dilakukan,” ujarnya.

Mardiyah percaya dengan memberikan pemahaman kepada generasi muda dan masyarakat desa tentang cara mengelola keuangan, menabung, dan investasi, bisa meningkatkan ketahanan perekonomian keluarga
"Masyarakat berpeluang untuk hidup lebih baik, bebas dari beban utang, dan lebih siap untuk menghadapi tantangan di masa depan," ujarnya.
Perubahan
Untuk memfasilitasi kegiatan boothcam, Mardiyah "merelakan" penginapan yang ia bangun dari penghasilan satu miliar pertamanya saat berkiprah di dunia perbankan sebagai tempat pelatihan. Penginapan ini berkonsepkan eco-green, yang bertujuan untuk menjadi rumah percontohan dengan konsep ramah lingkungan dan ruang belajar bagi banyak orang.
Stefi salah seorang mahasiswa Gen Z yang telah mengikuti pelatihan literasi keuangan di tempat ini menilai ilmu yang didapatkannya sangatlah bermanfaat dan tepat untuk dirinya.
Mengikuti kegiatan boothcamp edukasi keuangan, membuka matanya untuk tidak lagi menjadi pribadi yang boros dalam membelanjakan uang.
Mahasiswa semester lima, Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Tadulako ini menerapkan konsep SMART atau Specific (Spesifik), Measurable (Terukur), Achievable (Dapat Dicapai), Realistic (Realisitis), dan Time-bound (Tertarget Waktu) dalam perjalanannya menabung selama satu tahun terakhir.
Ia merasa bahwa jika bisa menerapkan konsep tersebut dalam kehidupan finansialnya, ia akan memiliki kesempatan lebih besar untuk meraih impian yang selama ini terasa sulit dicapai.
Setelah menerapkan konsep SMART dalam mengelola keuangannya, perubahan yang signifikan bisa terlihat dalam kehidupannya. Ia perlahan-lahan mulai mampu mewujudkan target impiannya dalam waktu yang ditentukan, dan mulai merasa lebih terkontrol dalam mengelola pengeluaran sehari-hari.
"Keuangan saya mulai teratur dengan baik, dan saya merasa lebih tenang dalam menghadapi masa depan," kata Stefi.
Tidak hanya itu, dengan disiplin yang ia bangun dalam mengatur keuangan, Stefi percaya mampu menabung untuk tujuan-tujuan lainnya.
Perubahan seperti yang dialami Stefi setelah menerapkan ilmu dasar-dasar keuangan yang didapat dari pelatihan, semakin memacu semangat Mardiyah untuk memberikan literasi keuangan kepada generasi muda karena mereka juga adalah pilar Generasi Emas 2045.
Mardiyah merasa bahwa apa yang ia lakukan jauh lebih berarti ketimbang saat ia berkarir di dunia perbankan di Jakarta. Baginya, memberikan edukasi literasi keuangan kepada berbagai lapisan masyarakat, terlebih bagi mereka yang berada di pelosok, adalah bentuk kontribusi nyata bagi kemajuan bangsa.
“Karena hidup cuma sekali, hiduplah dengan berani,” katanya penuh optimisme.
Baca juga: Pemkab Indramayu: Festival Ramadhan perkuat literasi keuangan dan UMKM
Baca juga: OJK Sulteng perkuat kolaborasi komunitas tingkatkan literasi keuangan
Editor: Dadan Ramdani
Copyright © ANTARA 2025