Melindungi ruang tangkap agar nelayan tak makin terhimpit

1 hour ago 1
Di balik kerentanan yang tampak, ada daya lenting yang membuat mereka tetap bisa melanjutkan hidup dari laut

Jakarta (ANTARA) - Sore menjelang malam hari, suasana di Jalan Muara Karang Raya, Jakarta Utara, begitu ramai. Mobil-mobil terparkir di depan aneka restoran atau pun mini market.

Kawasan kuliner ini dipenuhi hiruk-pikuk pengunjung yang baru saja datang selepas jam kerja. Lalu lintas merayap, mobil dan motor berebut ruang parkir di tepi jalan. Dari sisi kiri dan kanan, deretan restoran seafood, café, rumah makan chinese food, hingga gerai cepat saji tampak ramai oleh keluarga dan anak-anak muda yang bercengkerama.

Lampu-lampu kedai dan restoran saling beradu terang. Aroma udang, kepiting, dan cumi yang ditumis atau dibakar menyeruak ke jalan, menambah semarak suasana sore menjelang malam itu.

Suasana yang berbeda dapat mulai dirasakan saat memasuki pemukiman nelayan yang letaknya tidak terlalu jauh dari situ. Tak ada lagi deretan mobil yang berjejer, melainkan perahu-perahu cumi, perahu yang dirancang khusus untuk menangkap cumi-cumi pada malam hari, yang bersandar di tepian jembatan kayu.

Rumah-rumah kecil berdempetan, suara motor saling bersahutan, dan udara dipenuhi aroma amis bercampur asin yang semakin pekat seiring langkah semakin jauh ke dalam. Kontrasnya begitu terasa: dari gemerlap restoran dan hiruk-pikuk kota, berganti menjadi suasana khas perkampungan nelayan yang hidup berdampingan dengan laut.

Di ujung sebuah jalan yang sempit, berdiri sebuah bangunan sederhana bercat hijau yang sebagian besar terbuat dari kayu. Sebuah papan kayu bertuliskan “Warung Riky Putra” tergantung di atas pintu.

Warung itu menjadi tujuan penulis malam itu. Meski tampak sederhana, suasananya hangat. Sebuah televisi kecil menyala di sudut, ditemani lampu bohlam yang menggantung di tengah ruang, menjadi pusat hiburan sekaligus penerang.

Di teras bambu dan lorong kayu yang menghubungkan warung dengan perahu-perahu bersandar, para nelayan kerap menambal jaring, merajut, bahkan membuat jaring baru. Lebih dari sekadar tempat berjualan, warung ini merupakan salah satu simpul kehidupan sosial nelayan Muara Angke: tempat beristirahat, menyiapkan alat tangkap, bercengkerama, hingga berbagi cerita tentang laut dan hasil tangkapan.

Di antara obrolan yang mengalir malam itu, seorang nelayan menuturkan bagaimana ia pertama kali mengenal alat tangkap bernama rejung. Kisahnya bermula sekitar tahun 2015, ketika ia masih mengandalkan hasil tangkapan rajungan dengan perahu kecil. Saat itu, ia berjumpa dengan seorang nelayan lokal yang lebih dulu memakai metode tangkap berbeda.

Dari percakapan santai itulah ia mendengar istilah “rejung”. Rasa ingin tahu mendorongnya mendatangi langsung pembuat alat tersebut untuk melihat proses perakitan. Berbekal pengalaman lama menggunakan perangkap rajungan, ia cepat memahami tekniknya dan akhirnya mampu merangkai sendiri.

Baca juga: Akademisi usulkan LBH untuk perlindungan nelayan

Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |