LSF: "Merah Putih One For All" tidak ada pelanggaran sensor

1 month ago 14

Jakarta (ANTARA) - Ketua Lembaga Sensor Film (LSF) Naswardi mengatakan film animasi “Merah Putih One For All” karya Perfiki Kreasindo tidak memiliki unsur kriteria sensor yang dilanggar dan telah diterbitkan Surat Tanda Lulus Sensor (STLS) dalam klasifikasi usia Semua Umur (SU).

"Berdasarkan hasil penilaian dan juga penelitian yang dilakukan oleh kelompok penyensoran, maka film ini tidak ada kaedah kriteria yang dilanggar. Artinya semua kriteria yang kita punya di dalam proses penilaian itu terpenuhi,” kata Nawardi kepada awak media di Jakarta, Rabu.

Ia mengatakan STLS diberikan kepada film animasi “Merah Putih One For All” tanggal 5 Juli 2025 dan berhak disiarkan di jaringan bioskop Indonesia.

Baca juga: LSF RI tegaskan penyensoran tidak lagi memotong film

Nawardi menjelaskan “Merah Putih One For All” dinilai berdasarkan acuan utama kriteria sensor untuk animasi yang terdiri atas tiga aspek, yaitu tema, konteks, nuansa dan dampak. Selain itu ada acuan pendukung yang menjadi pertimbangan dalam penerbitan surat lulus sensor yaitu judul film, dialog dan monolog dalam film, visualisasi dan teks jika merupakan film animasi asing.

Berkaitan visualisasi adegan dialog dan monolog, LSF menilai enam unsur di antaranya apakah visual memperlihatkan praktek atau unsur kekerasan, berkaitan dengan pornografi, menggambarkan penggunaan atau peredaran narkotika, perendahan terhadap harkat martabat kemanusiaan, suku, agama, perempuan atau kelompok tertentu dan melawan hukum.

Dari aspek tadi ditetapkan pengkategorian atau proses klasifikasi usia menjadi film untuk semua umur, 13 tahun ke atas, dewasa 17 tahun ke atas, dan juga film untuk dewasa 21 tahun ke atas.

Baca juga: Anugerah LSF 2025 hadirkan 18 kategori penghargaan sensor mandiri

“Jadi, kami di Lembaga Sensor Film tidak diberikan kewenangan, baik itu melalui peraturan menteri, peraturan pemerintah, ataupun undang-undang untuk menilai kualitas. Nah, itu rating penilaian rendah, tinggi, buruk, sedang, jelek, itu yang bisa memberikan adalah kritikus film, ataupun penonton dari film itu sendiri,” jelasnya.

Naswardi mengatakan LSF menerima semua film untuk dilakukan proses pelayanan sensor tanpa diskriminasi dan membeda-bedakan. Ia juga menegaskan LSF mendengar masukan dari berbagai kalangan, mulai dari publik, kreator, industri, berkaitan dengan kualitas sinematografi dan sebagainya.

Ia mengatakan kritik dari publik harus menjadi perhatian oleh pembuat atau pemilik film karena terkait apresiasi penonton dan menjadi proses yang harus dihadapi oleh sineas atau kreator film.

Baca juga: LSF RI luncurkan laman perfilman yang aksesibel disabilitas

Baca juga: LSF berperan lindungi masyarakat dari film yang tidak sesuai norma ​​​​​​​

Pewarta: Fitra Ashari
Editor: Siti Zulaikha
Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |