Mataram (ANTARA) - Pagi itu, angin laut di Pantai Kuta, Lombok Tengah, membawa aroma optimisme. Wisatawan asing menjejak pasir putih, menatap laut biru dan latar Gunung Rinjani nun di kejauhan.
Saat itu mungkin mereka belum tahu bahwa Lombok baru saja dinilai berada di peringkat kedua sebagai Pulau Terbaik di Asia 2025 oleh ajang bergengsi Condé Nast Traveller melalui Readers’ Choice Awards dengan skor 94,86 poin, jauh melompat dari posisi ke-10 pada 2024 yang masih di angka 90,41 poin.
Kabar ini tentu saja bukan sekadar angka. Ia menjadi sinyal bahwa Lombok kini diakui secara internasional bukan cuma sebagai tujuan “indah” tapi sebagai destinasi yang mampu memberi pengalaman otentik, bermakna dan berkelas dunia.
Momen seperti ini penting untuk ditelaah lebih dalam: Bagaimana sebuah pulau yang dikenal dengan julukan “Seribu Masjid” mampu naik kasta di panggung pariwisata dunia? Kenaikan peringkat tentu bukan sekadar hasil kebetulan, melainkan buah dari kerja kolektif yang patut diapresiasi.
Namun, di balik capaian itu, ada tanggung jawab besar, yakni mempertahankan momentum agar tidak berhenti sebagai kebanggaan sesaat, melainkan menjadi fondasi bagi pertumbuhan yang berkelanjutan.
Sebagaimana lazimnya setiap capaian, pujian selalu membawa tanggung jawab lanjutan, yakni menjaga dan membenahi berbagai aspek agar sorotan positif itu tetap bermakna dan terus berdampak.
Pertama yang perlu diperhatikan adalah pengalaman wisatawan dan kualitas layanan. Kenaikan peringkat ini tidak lepas dari sentimen positif para pengunjung yang menilai keaslian budaya, kehangatan keramahan lokal, keberlanjutan lingkungan, serta kenyamanan akses menuju destinasi.
Namun, di balik pujian tersebut tersembunyi tantangan nyata. Infrastruktur jalan, transportasi antarpulau, konektivitas penerbangan, serta kualitas akomodasi di luar “zona unggulan” seperti KEK Mandalika masih menyisakan celah.
Kedua, keberlanjutan dan pelibatan masyarakat lokal. Penghargaan ini memancing peluang investasi besar, namun apakah hal itu akan diikuti dengan kelestarian budaya, ekologi dan manfaat langsung bagi masyarakat setempat? Pemerintah sudah menegaskan bahwa pencapaian ini bukan alasan berpuas diri, tetapi untuk terus berbenah.
Ketiga, pemerataan destinasi. Fokus sering tertuju ke Mandalika, gili‐gili dan pantai populer. Padahal pulau ini terdiri dari banyak sudut yang belum tergarap dengan optimal. Upaya mengembangkan pulau‐pulau kecil di Lombok Barat, misalnya, menunjukkan kesadaran akan potensi yang belum tergali.
Seluruh sorotan ini menunjuk ke satu kesimpulan bahwa ranking tinggi itu hakiki nilainya ketika diikuti dengan aksi nyata menjaga standar, memperluas manfaat dan meminimalkan risiko “wisata masal yang tak terkendali”.
Baca juga: Saat kota wisata butuh jalan alternatif
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.