Badung, Bali (ANTARA) - Sekretaris Utama Kementerian Lingkungan Hidup (KLH)/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH) Rosa Vivien Ratnawati mengatakan pihaknya sedang menindaklanjuti mengenai keberadaan tambang nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya.
"Saya hanya bisa menanggapi sedikit, karena Deputi Gakkum juga sudah menindaklanjuti itu," kata Sekretaris Utama (Sestama) KLH/BPLH Vivien ketika ditemui di sela-sela Sarasehan 45 Tahun Kalpataru di Kuta, Bali, Rabu.
"Kemudian sedang melakukan pengembangan-pengembangan untuk langkah penegakan hukum," ucapnya.
Baca juga: DPRK lakukan investigasi tambang nikel di Raja Ampat
Dia merujuk kepada Deputi Bidang Penegakan Hukum (Gakkum) KLH/BPLH yang disebutnya sedang mendalami kabar mengenai keberadaan tambang nikel yang berada dekat Raja Ampat, salah satu destinasi wisata unggulan Indonesia.
Keberadaan tambang nikel itu sendiri dikhawatirkan sejumlah pihak dapat berdampak kepada ekosistem alam di sekitarnya, mengingat kelestarian Raja Ampat menjadi salah satu penarik wisatawan baik domestik maupun asing untuk mengunjunginya.
Terkait dokumen lingkungan yang harus dimiliki oleh pertambangan nikel ketika ingin beroperasi, Vivien mengaku harus melakukan pemeriksaan lebih lanjut.
Baca juga: Menteri ESDM akan panggil penambang nikel Raja Ampat
Sebelumnya Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia pada Selasa (3/6) mengatakan akan memanggil pemegang izin tambang nikel di kawasan Raja Ampat untuk melakukan evaluasi aktivitas pertambangan.
Dari pihak pemerintah daerah, Bupati Raja Ampat Orideko Burdam pada Sabtu (31/5) mengatakan kewenangan pemberian dan pemberhentian izin tambang nikel berada pada pemerintah pusat di Jakarta.
Hal itu menyebabkan pemerintah daerah (pemda), kata dia, kesulitan melakukan intervensi terhadap tambang yang diduga merusak dan mencemari hutan serta ekosistem yang ada di wilayah itu.
Baca juga: Anggota DPR: Tidak ada kompromi untuk tambang nikel di Raja Ampat
Pewarta: Prisca Triferna Violleta
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2025