Jakarta (ANTARA) - Menteri Lingkungan Hidup (LH) Hanif Faisol Nurofiq menyampaikan sektor energi diperkirakan tidak dapat mencapai kondisi puncak emisi pada 2030 sesuai prakiraan, sehingga sektor kehutanan perlu didorong untuk mencapai penurunan lebih besar.
Dalam pembahasan implementasi MRA antara Sertifikasi Pengurangan Emisi GRK Indonesia (SPEI) dan JCM di Jakarta, Kamis, Menteri LH Hanif menyampaikan bahwa dalam dokumen iklim Second Nationally Determined Contribution (NDC), memasukkan prakiraan sektor energi, sebagai salah satu penghasil emisi terbesar, tidak akan mencapai puncak emisi pada 2030 seperti yang ditargetkan dalam dokumen sebelumnya.
"Di dalam dokumen tersebut, sektor energi belum akan peak di tahun 2030. Sektor energi akan peak di tahun 2038. Sementara di dalam skenario kita, maka puncak emisi total harus jatuh di tahun 2030, tidak ditawar," jelasnya.
"Sehingga sektor FOLU. harus mengakselerasi ini, sektor FOLU harus meningkatkan kinerjanya," tambah Hanif.
Sektor FOLU diperkirakan berkontribusi lebih dari 60 persen untuk pengurangan emisi, mengingat sektor energi belum dapat mencapai kondisi puncak pada 2030.
Namun, di sisi lain Indonesia memerlukan pendanaan yang berkelanjutan untuk meningkatkan kinerja pengurangan emisi, terutama sektor FOLU. Sumber pendanaan tersebut tidak dapat hanya berasal dari pendanaan tradisional seperti APBN.
Baca juga: Indonesia siap bawa hasil 14 proyek pengurangan emisi ke COP30 Brasil
Untuk itu, implementasi nilai ekonomi karbon lewat perdagangan karbon kemudian dikejar untuk memastikan dapat mencapai kondisi Net Zero Emission, atau emisi yang dihasilkan sama dengan yang berhasil dikurang, pada 2060 seperti yang ditargetkan pemerintah.
Untuk mencapai kondisi tersebut, maka Indonesia harus mencapai puncak emisi pada 2030.
"Berdasarkan hitungan kami, di dalam Indonesia FOLU Net Sink 2030, itu kita memerlukan dana sampai di angka Rp400 triliun," kataya.
Jumlah itu sendiri lebih kecil dibandingkan pendanaan yang dibutuhkan untuk menekan emisi di sektor energi untuk mencapai kondisi emisi yang dilepaskan sama atau bahkan lebih sedikit dibandingkan yang berhasil ditekan, yaitu mencapai Rp4.000 triliun.
Baca juga: KLH: Target emisi Second NDC pertimbangkan pertumbuhan ekonomi
Beberapa langkah yang sudah diambil pemerintah, tidak hanya membuka pasar karbon domestik dan internasional di Tanah Air yang masuk dalam kategori pasar karbon berdasarkan kepatuhan (compliance carbon market) tapi juga masuk ke dalam pasar karbon sukarela (voluntary carbon market) yang sudah berkembang di tingkat global.
KLH sebelumnya sudah menandatangani kerja sama dengan beberapa standar karbon global termasuk Gold Standard, Plan Vivo Foundation dan Global Carbon Council (GCC) untuk memastikan karbon Indonesia dapat menjangkau pasar lebih luas, terutama karbon hayati seperti yang berasal dari sektor kehutanan.
Baca juga: RI sasar 80 juta dolar dari pendanaan pengurangan emisi tahap II GCF
Pewarta: Prisca Triferna Violleta
Editor: Bernadus Tokan
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.